Hukum dan Peristiwa

Michele Korban Intimidasi Dianiaya Preman di Wihara Tien En Tang, Polisi Lambat Bergerak

Satunusantaranews-Jakarta, Tindak kekerasan yang dialami Michele, kian panas. Dalam hal ini, polisi sebagai penegak hukum dan juga pengayom masyarakat, dianggap berat sebelah atau dianggap sepihak, pada pengambilan alih Vihara oleh sekelompok preman.

Sosok Michele sebagai korban penganiayaan, menjadi saksi dari peristiwa, pengosongan rumah ibadah umat Budha itu. Vihara yang berada dalam kompek perumahan elit Green Garden, didatangi oknum preman, yang mengatasnamakan dari ahli waris pemilik tanah. Seperti dikatakan Michele. Kejadiannya begitu cepat Kamis sore (22/9). Persisnya pukul tiga sore, mendadak pria diduga dari Indonesia Timur, masuk ke dalam Vihara penuh emosi.

Saat itu. Michele tengah menunggu mobil jemputan, yang dipesan secara online. Tanpa banyak komentar 5 oknum ‘preman’  tersebut, masuk langsung mematikan listrik agar CCTV tidak berfungsi dan mengusir  dengan cara kekerasan, menarik tubuhnya keluar dari Vihara. “Saya sudah bertahan tidak mau keluar. Tapi saja ditarik dan didorong Sampai badan saya kena pagar. Bahkan mereka semprot air ke saya,” kenang Michele seraya memperlihatkan tangan dan kakinya biru lebam. Diakui Michele, dirinya menjadi syok dan terganggu jiwanya sampai saat ini. Masih terbayang kekerasan yang dialaminya itu.

“Saya perempuan. Tidak mungkin saya melawan mereka dengan badan gede, apalagi tampangnya serem. Mereka sungguh kejam,’ ujar Michele. Michele melihat bagaimana aksi buas preman menduduki Vihara tidak beradab. Bahkan, prasasti yang ditandatangani oleh direktur agama Budha dari kementrian agama telah dirusak dan di semen. Sehingga tidak terlihat lagi prasasti tersebut. Begitu juga saat para preman pasang spanduk penguasaan. Seolah sudah mendapat ‘restu’ dari Polda Metro Jaya. Seperti tertulis dalam spanduk, tertera tulisan sesuai LP di SPKT Polda Metro Jaya.

Setelah Michele meminta bantuan anggota Polsek Kebon Jeruk yang datang hanya meninton tanpa mengambil tindakan dan juga  melaporkan peristiwa yang dialaminya ini ke Polres Jakarta Barat, dengan nomor STTLP/888/B/IX/2022/POLRES METRO JAKARTA BARAT/POLDA METRO JAYA, terkesan oleh dirinya dan pengurus lain, tidak ada respon positif dari pihak polisi secara signifikan. Michele tidak habis pikir, upaya dirinya menyelamatkan uang umat dalam brankas, tidak didukung polisi. Seolah dibiarkan tanpa ada kemampuan penegak hukum, membantu pengurus yayasan mengambil aset yang dirampas oleh para ‘preman’ tersebut.

Seluruh barang milik yayasan yang berada dalam Vihara dirampas dan tidak bisa diambil . Baik berupa uang ratusan juta rupiah, maupun berbagai barang keperluan kerja para pengurus yayasan. Bahkan mobil dan motor yayasan di dalam garasi juga ikit dirampas dan tidak bisa dikeluarkan. Karena pagar Vihara langsung digembok. “Saya ini hanya salah satu pekerja di Vihara ini. Semestinya ada masalah masih bisa diselesaikan di pengadilan. Bukan dengan cara premanisme,” jengkel Michele.

Diakui Michele, masalah yang terjadi terkait tanah Vihara yang telah dihibahkan oleh Amih Widjaya di tahun 2001. Karena berupa tanah seluas 300 meter, dibangun sunber dana dari pendiri dan   pengurus yayasan serta mencari dana dari jamaah umat Budha, untuk membangun Vihara 3 lantai sampai selesai. Masalah mulai terjadi, setelah Amih Widjaya meninggal dunia karena sakit dan , almarhum meninggal dan disemayamkan di vihara. Puncaknya tekanan mulai dirasakan pengurus yayasan. Di tahun 2017, salah satu anak Amih Widjaya bernama Lily, menyoalkan hibah orangtuanya.

Bahkan muncul sertifikat baru, atas kepemilikan tanah tersebut. Dalam hal ini, terjadi dua sertifikat dalam satu obyek yang sama yang diduga adanya pemalsuan keterangan sehingga  lahirnya sertipikat ganda. “Yayasan mempunyai dan menyimpan bukti sertilikat tanah dan surat Hibah yang diberikan oleh almarhum (Bu Ami). Termasuk bukti lain pembangunan Vihara ini,” papar Michele

Leave a Comment
Published by
Admin SNN