satunusantaranews, Jakarta – Kami percaya MK memiliki pertimbangan konstitusional dan proporsional dalam menilai aturan PT 20% yang merugikan hak politik warga negara. MK harus mengedepankan azas keadilan hukum dan demokrasi dalam menerima gugatan para pemohon, bukan tunduk pada kehendak politik kelompok tertentu”, tegas Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Sultan B Najamudin (18/2).
Dirinya mengaku keberatan dengan keberadaan keputusan Mahkamah konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang memutuskan bahwa persoalan pengaturan ambang batas sebagai open legal policy.
Menurut Sultan, pertimbangan open legal policy yang disampaikan MK dapat merusak sistem legislasi karena seolah memberikan kemutlakan dan absolutisme kepada pembuat UU khususnya DPR RI dan Presiden. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan meniadakan asas partisipasi publik dalam membahas RUU.
“Maka pada pasal tertentu yang digugat oleh publik dapat dimentahkan oleh MK dengan alasan open legal policy. Padahal kita ketahui bahwa tak pernah ada satupun civil society atau kelompok intelektual khususnya akademisi hukum yang menyetujui sistem PT 20% diberlakukan dalam sistem pemilu, kecuali partai politik tertentu”, ungkap Sultan.
Partai politik justru menyulitkan dirinya sendiri dengan PT 20 persen di tengah gagalnya parpol melahirkan dan membesarkan calon-calon pemimpin bangsa yang capable dan berintegritas. Disamping tidak adanya platform perjuangan dan agenda partai politik yang mengakar, tambah Sultan.
Ketidakpercaya diri parpol mengusung kadernya dalam pemilu inilah yang mendorong mereka harus berkoalisi dan mencari calon pemimpin potensial lain di luar partai. Akibatnya, rakyat harus menerima kenyataan bahwa mereka hanya ditawarkan pilihan yang sangat terbatas.
Kami berharap MK bisa objektif dan adil dalam mengakomodir tuntutan publik terkait penghapusan PT 20 persen dengan mencabut putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Karena pada hakikatnya kehadiran MK adalah untuk mengendalikan dan meluruskan syahwat politik para pembuat UU agar selalu sejalan dengan UUD 1945, jelas mantan Wakil Gubernur Bengkulu ini.
Seperti diketahui bahwa MK menyatakan presidential threshold adalah kebijakan politik DPR. Jadi bukan kewenangan MK untuk menilainya, apakah konstitusional atau tidak. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, telah memutuskan soal konstitusionalitas dari ambang batas pencalonan presiden.
Dalam putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, bertanggal 18 Februari 2009, MK menegaskan bahwa persoalan pengaturan ambang batas adalah open legal policy.
Leave a Comment