satunusantaranews, Jakarta – Optimis Indonesia akan menjadi poros maritim dunia dengan segala potensi yang dimiliki sebagai negara kepulauan dan hal itu dapat diwujudkan. Oleh karena itu meminta kepada bangsa ini untuk kembali kepada jati dirinya sebagai negara kepulauan. Demikian disampaikan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat menjadi pembicara utama Musyawarah Nasional (Munas) II Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) (8/10).
DPD RI sebagai inisiator Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan terus melakukan pembahasan maraton untuk mempercepat proses pengesahan RUU tersebut menjadi Undang-Undang (UU). DPD RI tak main-main dalam memperjuangkan RUU tersebut.
Pada 29 September lalu, DPD RI secara khusus juga mengangkat hal itu dalam acara Obrolan Senator, dengan topik ‘Pembangunan Daerah Kepulauan dalam Mengoptimalkan Potensi Negara Maritim’. Sedangkan pada 6 Oktober, membuka Hi-Level Meeting para Gubernur Provinsi Daerah Kepulauan dengan tema ‘Membangun Solidaritas untuk Percepatan Pembahasan dan Pengesahan RUU tentang Daerah Kepulauan’.
“Dan di acara Munas ke-II ASPEKSINDO, DPD RI sangat serius mengawal dan memperjuangkan kepentingan daerah kepulauan, terutama melalui payung hukum Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan,” tutur LaNyalla.
DPD RI memandang bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum memenuhi asas kepastian hukum, dalam konteks pengelolaan wilayah laut dan penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kepulauan.
Undang-Undang tersebut juga belum cukup mewadahi berbagai kepentingan dan permasalahan daerah kepulauan dalam rangka mengejar ketertinggalan pembangunan, teknologi dan sumber daya manusia, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat kepulauan.
“Apalagi jika dikaitkan dengan pencanangan oleh Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia harus menjadi salah satu negara poros maritim dunia. Tentu mutlak membutuhkan Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan,” tutur dia.
Hal itu mengingat cakupan khas dari Undang-Undang tersebut yang menitikberatkan kepada paradigma pembangunan berbasis maritim. Senator asal Jawa Timur itu memaparkan, terdapat enam elemen penting untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yaitu posisi geografis, bentuk fisik dan luasnya wilayah. Kemudian jumlah penduduk, karakter pemerintahan dan karakter bangsa.
“Khusus tentang karakter pemerintahan tersebut, harus tercermin dengan jelas melalui Undang-Undang. Di mana hal itu sudah terakomodasi dalam RUU tentang Daerah Kepulauan. Saya yakin, setelah RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang, maka percepatan gagasan Indonesia sebagai salah satu negara poros maritim dunia akan terwujud,” tegas LaNyalla.
Sudah seharusnya bangsa Indonesia kembali ke jati diri sebagai negara kepulauan yang besar, yang menjaga kehidupan, dan masa depan yang ada di laut. Indonesia juga harus bisa memainkan perannya yang lebih besar sebagai negara yang berada di posisi strategis di antara dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, baik secara geografi, geo-strategis dan ekonomis.
Dan tema Munas ke-II ASPEKSINDO kali ini ‘Membangun Indonesia dari Pinggiran’, sejalan dengan apa yang selama ini digaungkan oleh DPD RI. Karena bagi DPD, wajah Indonesia adalah wajah dari 34 provinsi di Indonesia.
“Dan, wajah provinsi adalah wajah dari seluruh kabupaten kota di wilayah tersebut. Begitu seterusnya hingga ke pemerintahan terkecil di republik ini, yaitu desa,” kata LaNyalla.
Seperti diketahui, dalam berbagai kesempatan LaNyalla seringkali menyampaikan bahwa desa juga harus menjadi kekuatan ekonomi. Hal itu sejalan dengan program pembangunan yang sudah digariskan Presiden Joko Widodo, yaitu pembangunan Indonesia Sentris. Artinya pembangunan merata, bukan lagi terfokus di Pulau Jawa. Karena itu pemerintah mengalokasikan dana desa yang cukup besar. Bahkan diupayakan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tercatat sejak tahun 2015 hingga 2019, dana desa yang sudah dikucurkan mencapai Rp. 257 triliun, dan dari tahun 2019 hingga 2025, pemerintah bertekad mengalokasikan hingga Rp400 triliun ke seluruh desa di Indonesia.
Membangun dari pinggiran juga harus berarti menjadikan pulau-pulau terluar dan terdepan sebagai aset strategis atau obyek vital nasional. Sekaligus menjadi kawasan perbatasan sebagai etalase wajah negara, bukan punggung negara.
Dengan demikian, orientasi dan paradigma membangun dari pinggiran harus dilandasi filosofi pembangunan yang jelas, bukan sekedar membangun atau menyediakan fasilitas infrastruktur yang belum ada. Infrastruktur harus dipandang sebagai akses untuk memastikan agar suplai chain manajemen berjalan lebih baik. Sehingga arus barang dan jasa dapat berlangsung lebih baik dan kendala di sektor logistik dapat ditekan.
Muara dari semua itu adalah peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Sehingga saya yakin, Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan akan menjadi salah satu pengungkit dan pendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah kepulauan dan pesisir, tutupnya.
Leave a Comment