Opini

Nikita Mirzani Mengkritik Puan Maharani

satunusantaraselebriti, Jakarta – Nikita Mirzani mengkritik Puan Maharani sebagai Ketua DPR yang mematikan mikrofon anggota Fraksi Partai Demokrat saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, RUU Cipta Kerja banyak mendapat kritik terkait hak buruh.

Baca juga : Berita Lain tentang Kritik Nikita Mirzani ke Puan Maharani

Nikita mempertanyakan alasan Puan melakukan hal tersebut (mematikan mikrofon-red). Sebab menurutnya apa yang dilakukan ketua DPR itu dinilai tidak sesuai dengan demokrasi.

Baca juga : Disahkannya RUU Cipta Kerja, Melanie Subono Merasa Dikhianati

“Kenapa Ibu Puan Maharani matiin mikrofonnya? Kurang fair ketika orang sedang menyuarakan suaranya tapi tidak bisa didengar,” tulis Nikita Mirzani di Insta Story, Rabu (7/10/2020).

 

Nikita Mirzani lantas memberikan sindiran dengan mengingatkan Puan Maharani soal Pancasila.

 

“Negara ini dibangun atas dasar Pancasila. Masih inget nggak Pancasila dari satu sampai kelima,” kata ibu tiga anak itu.

 

Tak hanya sekedar mengingatkan, Nikita Mirzani juga mengatakan jika Puan Maharani melupakan Pancasila, ia akan menyodorkan seseorang.

 

“Jangan sampai aku datangkan Tante Lala ke DPR nanti,” ujarnya.

Puan Maharani

Tante Lala adalah seorang ibu yang beberapa waktu lalu viral di media sosial. Ia memperlihatkan ekspresi kesal saat anaknya diajarkan Pancasila, tetapi tidak bisa menyebutkan dengan lengkap lima sila tersebut.

 

Di postingan Insta Story lainnya, Nikita Mirzani memperlihatkan video Puan Maharani yang tampak menekan tombol mematikan mikrofon anggota Fraksi Partai Demokrat.

 

Sambil melingkari tangan putri dari mantan Presiden Indonesia itu, Nikita Mirzani menuliskan, “Ibu Puan ini lho suka jail aja jarinya.”

UU Cipta Kerja memang sedang banyak mendapat kritik setelah disahkan. Mengutip dari Kompas.com, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh yaitu :

 

1. Masifnya kerja kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya “tiga tahun” sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi “tidak terlalu lama” bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.

 

2. Outsourcing pada semua jenis pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi. Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.

 

3. Jam lembur yang semakin eksploitatif

Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

 

4. Menghapus hak istirahat dan cuti
Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus. Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

 

5. Gubernur tak wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota

Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK. Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.

6. Peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi

Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh. Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK. Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.

 

7. Berkurangnya hak pesangon

Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan, dan meninggal dunia. Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.

 

8. Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat. Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.

Leave a Comment
Published by
disa snn