Pandemi Covid-19 Momentum Wujudkan Kemandirian Kesehatan
satunusantaranews, Surabaya - Pandemi Covid-19 merupakan momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemandirian kesehatan. Termasuk juga mengurangi ketergantungan obat dan bahan obat dari luar negeri. Demikian dikemukakan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (12/8).
Bahkan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, pernah menyampaikan sulitnya menangani Covid-19 karena Indonesia masih impor obat dan bahan baku obat. Yakni sekitar 97% obat-obatan masih impor dan hanya 3% obat-obatan yang diproduksi dalam negeri. Padahal dari 1.809 macam obat yang ada di e-katalog, hanya 56 item obat yang belum diproduksi di dalam negeri. Kemudian dari 10 bahan baku obat yang terbesar baru dua yang ada di Indonesia, lainnya masih impor.
“Ketika menjadi keynote speaker webinar yang diadakan Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah Indonesia (DEMFASNA), beberapa waktu lalu, saya katakan hikmah terbesar dari pandemi Covid-19 bagi bangsa Indonesia adalah terungkapnya persoalan-persoalan fundamental di banyak sektor yang selama ini belum terpikirkan. Di sektor kesehatan, kita lihat sangat rapuh. Fasilitas kesehatan nyaris kolaps, kemudian kurang tersedianya oksigen dan obat-obatan,” ujar LaNyalla (12/8).
Terkait hal ketergantungan obat dari luar negeri, disarankannya agar Indonesia mulai memanfaatkan biodiversity atau keanekaragaman hayati yang ada sebagai obat siap pakai maupun bahan baku obat-obatan. Kita mempunyai biodiversity yang sangat banyak. Dari Sabang sampai Merauke, melimpah bahan yang bisa dikembangkan dalam bentuk obat-obat siap pakai maupun sebagai bahan baku.
LaNyalla mencontohkan, bahan baku untuk obat paracetamol yang sampai saat ini masih impor. Menurutnya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki bahan bakunya, yaitu zat fenol sisa produksi bahan bakar minyak yang dibuat oleh PT Bio Farma. Sayangnya pemerintah Indonesia belum menggarap potensi itu dengan baik.
Selama ini kita terlalu asyik menggunakan obat-obat dan produk-produk sudah jadi. Kondisi pandemi membuat semuanya menjadi sadar bahwa banyak potensi dan sumber daya alam yang belum dikembangkan, yang sebenarnya bisa berperan besar dalam mendukung penanganan virus, ujarnya.
Untuk itu, LaNyalla mendorong lembaga penelitian dan perguruan tinggi terus melakukan riset dan bekerja sama dengan perusahaan farmasi dalam produksi. Artinya hasil riset tidak hanya sebatas publikasi ilmiah namun juga ke proses hilirisasi. Memang budget penelitian dan pengembangan terkait obat masih rendah. Hanya sekitar 0,2 persen total GDP (Gross Domestic Product). Makanya kita minta anggaran penelitian kesehatan ini ditambah.
Ditambahkan LaNyalla, kolaborasi yang kompak antara kampus dan industri menjadi kekuatan untuk mencapai kesehatan yang mandiri. Minimal ketergantungan terhadap produk-produk asing berkurang. Pandemi merupakan momen tepat untuk melakukan transformasi kesehatan, reformasi sektor farmasi dan resiliensi sistem kesehatan.
"Pentingnya ketersediaan obat-obatan esensial untuk rakyat kecil, kemudian masalah sistemik yang harus diperbaiki dalam sistem kesehatan seperti kapasitas RS, juga target cakupan BPJS yang perlu ditambah,” jelasnya.
Komentar