satunusantaranews, Jakarta – Langkah BPOM yang menerbitkan surat pencabutan atas Emergency Use Authorization (EUA) terhadap chloroquine (CQ) dan Hydroxycloroquine (HCQ) untuk pengobatan Covid-19 dinilai sangat terlambat.
Hal Itu disebabkan karena FDA telah melakukan pencabutan itu sejak bulan Juni 2020 lalu. Dikhawatirkan, telah terjadi sejumlah kasus yang menyangkut efek samping akibat pemberian chloroquine dan hydroxychloroquine dalam pengobatan Covid-19 selama ini.
‘’Saya lihat, surat yang diterbitkan BPOM ini hanya mengedepankan kewenangan saja. Kewenangan untuk menerbitkan ijin penggunaan atau melarang penggunaan obat-obatan tertentu, tanpa ada penjelasan rinci mengenai dampak yang ditimbulkan,’’ ungkap apt Drs Julian Afferino, MS seorang pakar klinik dan diganostik.
Dalam kesempatan itu, Ia mempertanyakan, apabila terjadi dampak dari penggunaan obat ini, siapa yang harus bertanggungjawab? Ia kemudian merunut ke belakang.
Pada 28 Maret 2020 lalu FDA menerbitkan EUA untuk chloroquine (CQ) dan hydroksicloroquine (HCQ) atas permintaan BARDA (Biomedical Advance Research and Development) yang berada dalam Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HSS).
Sejak itu, seluruh dunia mulai menggunakan kedua obat tersebut dalam pengobatan pasien Covid-19. Berselang beberapa hari kemudian, pada tanggal 7 April 2020 BPOM merilis 16 obat Covid-19 dan dua diantaranya adalah CQ dan HCQ.
Namun pada 15 Juni 2020, BARDA meminta kepada FDA untuk mencabut EUA terhadap kedua obat tersebut atas pertimbangan risk and benefit. Terutama efek samping yang serius terhadap jantung pada pasien Covid-19 dengan obat CQ dan HCQ.
‘’Seharusnya, bersamaan dengan dicabutnya EUA atas CQ dan HCQ oleh FDA, pada bulan Juni lalu, BPOM juga melakukan hal yang sama, mengingat BPOM tidak melakukan uji klinis sendiri. Tapi mengapa sampai menunggu hingga menjelang akhir tahun, pencabutan EUA atas CQ dan HCQ baru dilakukan.
Ada masalah apa sebenarnya? Apakah karena stock obat tersebut yang selama ini sudah terlanjur diimpor oleh pemerintah itu baru habis, sehingga pencabutan EUA baru dilakukan sekarang?,’’ tanya apt Julian yang juga CEO Pharmacare Consulting ini.
Ia juga menyayangkan, tidak ada suara dari para ahli klinis mengenai efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan Chloroquine dan hydroxychloroquine ini, agar tidak timbul efek samping merugikan yang tidak perlu yang harus ditanggung oleh pasien.
Dalam surat yang diteribitkan oleh BPOM sehubungan dengan perkembangan terkini, studi klinik di dunia dan hasil pemantauan BPOM mengenai penggunaan Chlroroquine Phospate dan Hydroxychloquine Sulfate maka dilakukan pencabutan Persetujuan Penggunaan Darurat obat yang mengandung Hydroxychloroquine Sulfate dan Pencabutn Izin Edar obat yang mengandung Chloroquine Phospate untuk pengobatan Covid-19. BPOM juga menghimbau agar regimen yang mengandung CQ dan HCQ itu tidak lagi digunakan dalam pengobatan Covid-19.
‘’Dalam surat tersebut sama sekali tidak dijelaskan, apa alasan pencabutan EUA, hanya menyebutkan perkembangan studi klinik terbaru. Tidak semua masyarakat bisa membaca jurnal, sehingga sudah seharusnya BPOM memberikan penjelasan rinci, apa sebenarnya penyebab dicabutnya EUA tersebut. Hasil studi yang seperti apa yang membuat BPOM mencabut EUA tersebut,’’ ungkap Julian.
Menurut Julian, chloroquine dan hydroxysichloroquine yang selama ini digunakan untuk mengobati malaria.
Berbeda dengan pasien Covid-19, terjadi suatu peradangan pada otot jantung myocardium. Akibat dari peradangan ini akan mengganggu respon listrik jantung yang dapat mengakibatkan terjadinya henti jantung.
Oleh sebab itu, lanjut Julian, diperlukan evaluasi terhadap kesehatan jantung seseorang sebelum diberikan terapi CQ/HCQ.
Julian khawatir, selama ini sudah terjadi sejumlah masalah yang tidak terungkap ke permukaan, akibat penggunaan chloroloroquine dan hydroxysichloroquine dalam pengobatan Covid-19 ini. Karena itu Ia sangat menyayangkan keterlambatan BPOM dalam mencabut EUA atas kedua obat tersebut.
Leave a Comment