Nasional

Politisi PKS: Pajak Sembako dan Pendidikan Tindakan yang Kehilangan Akal Konstitusi

satunusantaranews, Jakarta — Anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf angkat bicara mengkritik rencana pemerintah untuk mengenakan pajak bagi sembako dan jasa pendidikan sebagai tindakan yang sudah kehilangan akal konstitusi. Ini akan menjadi tikaman dari belakang terhadap rakyat bila wacana ini benar-benar terealisasi.

 

Upaya pemerintah memperluas objek pajak yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) demi mengerek kas negara tertuang dalam perubahan kelima atas Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi sorotan publik.  Hal itu dikarenakan ketentuan dalam draf RUU Revisi UU KUP yang tidak lagi mengecualikan jasa pendidikan dan sembako sebagai objek pajak yang dikenakan PPN.

 

“Apalagi sebelumnya, Menteri Keuangan seolah sembunyi-sembunyi dalam merencanakan ini sampai akhirnya dokumen RUU itu bocor di tengah publik. Rakyat sudah susah, jangan bebani dengan pajak,” ungkapnya.

 

Bukhori Yusuf menegaskan kepada pemerintah supaya kembali berpedoman pada amanat konstitusi, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Jelas amanat konstitusi meminta pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan, bukan kesengsaraan bagi masyarakat yang tengah berjuang bertahan hidup di masa pandemi.

 

Di sisi lain, Politisi PKS ini juga melihat adanya bentuk ketidakadilan kebijakan sehingga mempertajam kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Misalnya, Bukhori menyandingkan wacana PPN bagi sembako dan sekolah dengan pemberian stimulus konsumsi kelas menengah oleh pemerintah berupa relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Sektor Otomotif. Sehingga, diskon pajak bisa mencapai 100% atau PPnBM mulai 0% untuk pembelian mobil baru.

 

Lebih lanjut, anggota Badan Legislasi ini mencemaskan apabila bahan sembako dikenakan PPN akan berimbas pada peningkatan harga jual barang. Kenaikan ini, akan menekan daya beli masyarakat sehingga berdampak pada pengurangan belanjanya. Akibatnya, pemulihan ekonomi akan terhambat karena daya beli masyarakat yang turun.

 

Kendati demikian, kekhawatiran ini sesungguhnya tidak akan terjadi apabila diimbangi juga dengan perluasan dan peningkatan bantuan sosial dari segi nominal dan jumlah penerima manfaat secara memadai. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 mencapai 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

 

Terkait wacana pungutan pajak untuk jasa pendidikan, dosen sekaligus politisi ini meminta pemerintah untuk tidak memaknai sektor pelayanan publik di bidang pendidikan sebagai komoditas untuk menambah kas negara.

 

Sebab itu, ia mengimbau pemerintah untuk mengambil cara lain yang lebih bermaslahat, misalnya pengenaan pajak tinggi bagi perusahaan yang mengeksploitasi SDA Indonesia. Sekolah adalah public service, bukan komoditi. Bahaya sekali jika pemerintah menjadikan pendidikan sebagai bagian dari bisnis untuk diambil profitnya. Cara pandang negara yang berbisnis dengan rakyatnya mencerminkan watak pemerintahan yang kapitalis-liberalis, ujarnya.

 

Selain itu diingatkan supaya pemerintah kembali pada tujuan negara, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara menghadirkan pendidikan yang layak, terjangkau, dan berkualitas. Tujuan ini mampu dicapai apabila pemerintah semakin memperluas aksesibilitas warganya dengan menghadirkan infrastruktur yang memadai secara merata serta pengembangan kualitas suprastruktur, seperti SDM dan program lain yang menunjang.

 

“Dengan demikian, menghapus pengecualian jasa pendidikan dari objek pajak menjadi kontradiktif dengan tujuan negara. Maka, PKS dengan tegas meminta jasa pendidikan dan sembako dikembalikan seperti awal,” tutupnya.

Leave a Comment
Share
Published by
Kahfi SNN