satunusantaranews, Jakarta – Presiden Joko Widodo ingin membicarakan terkait perubahan global yang begitu sangat drastis, sekaligus mengevaluasi mengenai penugasan, maupun berkaitan dengan investasi dihadapan Menteri BUMN, Erick Thohir, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Investasi; Direktur Utama beserta para direksi serta para Komisaris dari PLN dan juga dari Pertamina.
Kita tahu pembicaraan di G20, juga pembicaraan di Glasgow, di COP26, arahnya itu sudah bisa ditebak bahwa suatu saat yang namanya energi fosil, penggunaan mineral fosil itu pada suatu titik akan disetop.
Padahal kondisinya adalah, misalnya PLN ini penggunaan batu baranya masih sangat besar sekali. Pertamina juga bisnisnya berada pada posisi bisnis minyak dan gas, yang mau tidak mau itu juga akan terkena imbasnya kalau ke depan itu mengarahnya semuanya ke mobil listrik. Dan dipastikan akan segera dimulai di Eropa dan negara-negara lainnya. Dimana sekarang ini sudah mulai, dalam bentuk undang-undang, sudah dalam bentuk regulasi. Artinya, bukan karena B2B (Business to Business) atau karena bilateral. Sehingga kita semuanya harus betul-betul bersiap-siap.
Memang kita tahu bahwa transisi energi ini memang tidak bisa ditunda-tunda. Oleh sebab itu, perencanaannya, grand design-nya itu harus mulai disiapkan. Tahun depan kita akan apa, tahun depannya lagi akan apa, lima tahun yang akan datang akan apa, sepuluh tahun yang akan datang akan setop misalnya. Sudah harus konkret dan jelas dan detail, bukan hanya makronya, tetapi detail rencana itu ada.
Dari Pertamina ada, dari PLN juga harus ada. Dan rentang waktu yang masih ada ini kita gunakan sebaik-baiknya untuk memperkuat fondasi menuju ke transisi tadi. Dan memang untuk kepentingan yang lebih baik, untuk anak-cucu kita.
Jadi mau tidak mau yang namanya transisi energi menuju ke sebuah energi hijau itu harus, itu udah enggak bisa tawar-menawar. Itu tugas untuk mencari teknologi yang paling murah yang mana, tugasnya kesitu. Dan ini adalah kerja cepat-cepatan, karena siapa yang bisa mengambil peran secepatnya, itu yang akan mendapatkan keuntungan.
Sekarang ini total energy supply itu, angka yang ada di saya, 67 persen itu disuplai oleh batu bara (coal), fuel itu 15 persen, gas 8 persen. Kalau kita bisa mengalihkan itu ke energi yang lain, misalnya mobil diganti listrik semuanya, gas rumah tangga di ganti listrik semuanya, karena di PLN over supply. Artinya, suplai dari PLN terserap, impor minyak di Pertamina menjadi turun.
Gol besarnya adalah negara ini akan memperoleh keuntungan dalam bentuk neraca pembayaran kita, yang sudah berpuluh-puluh tahun kita tidak bisa menyelesaikan, karena problemnya impor minyak kita terlalu besar sekali. Dan itu mempengaruhi currency kita, mempengaruhi yang namanya kurs dolar kita.
Karena setiap bulan Pertamina harus menyediakan, harus beli dolar di pasar dengan jumlah yang tidak kecil, besar sekali. Oleh sebab itu, kenapa kita ingin mendorong yang namanya mobil listrik dan kompor listrik, tapi problemnya di situ ada.
Nah itu tugas untuk tahapannya seperti apa, mana yang bisa cepat, mana yang harus tahun depan, mana yang harus tahun depannya lagi. Larinya ke negara, kalau ini enggak diselesaikan sampai kapanpun neraca pembayaran kita enggak akan beres, ini logika-logika yang semua kita harus ngerti hitung-hitungannya, bukan hanya khusus untuk PLN sebagai perusahaan BUMN, Pertamina sebagai perusahaan BUMN.
Ini adalah masih dalam lingkup badan usaha yang dimiliki oleh negara. Jadi artinya kepentingan negaranya ada, meskipun profesionalisme untuk EBITDA-nya agar baik, keuntungannya agar baik. Tapi sekali lagi masih ada beban yang namanya penugasan di Pertamina maupun di PLN.
Jadi misalnya khusus untuk PLN, memang harus dibuka, bagaimana transisi energi ini bisa segera dilakukan. Ada target misalnya tahun ini harus gol tahun 2022 misalnya. Karena tinggal sebulan ini kan, tahun 2022 misalnya 5.000 Megawatt harus geser dari coal ke bisa hydropower, bisa geotermal, bisa ke solar panel, silakan.
Tapi memang harus sudah ada tahapan-tahapan seperti itu. Tapi juga di sini ada gap, karena ini murah, yang ini agak mahal. Lah gapnya ini gimana caranya menyelesaikan? Karena nanti akan banyak yang namanya investasi. Karena kita kemarin bicara dengan Boris Johnson, dengan Joe Biden mengenai ini.
Negara-negara gede jangan hanya bicara saja, tapi ini ada problem gap ini siapa yang nanggung, siapa yang harus menyelesaikan. Kalau negara berkembang enggak mungkin nyuruh-nyuruh, enggak bisa kita, sampaikan apa adanya.
Mereka kelihatannya sudah mau, dari janji, dari janji setiap tahun 100 miliar Dolar AS untuk semuanya, untuk seluruh dunia, setiap tahun. Jangan hanya mau memberikan bayangan angka, tapi duitnya enggak nongol, tapi kita ngomong blak-blakan saja.
Ini yang harus mulai disiapkan. Mana yang bisa digeser ke hidro, mana yang bisa digeser kecil geotermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu, semuanya mulai diidentifikasi dan mulai di… Karena akan ditekan kita, “Jangan berinvestasi di Indonesia karena masih gunakan fosil. Jangan beri bantuan ke Indonesia karena masih menggunakan fosil,” Menekannya pasti kayak gitu, ini yang harus kita antisipasi.
Kemudian, yang berkaitan dengan investasi. Sebetulnya investasi yang ingin masuk ke Pertamina, ke PLN ini mengantre dan banyak sekali. Tapi ruwetnya, ruwetnya itu ada di birokrasi kita dan juga ada di BUMN kita sendiri.
Sesuatu yang gampang tapi sulit dilakukan, kok enggak jalan-jalan. Posisi-posisi ini yang harus terus diperbaiki dengan profesionalisme. Setiap penugasan itu harus dihitung konsekuensinya. Bagi PLN, beri tarif seperti apa. Bagi Pertamina, terutama untuk premium dan elpiji seperti apa. Dan itu disampaikan transparan dan terbuka, blak-blakan dengan angka-angka, dengan kalkulasi, dengan hitungan-hitungan. Tapi yang logis, karena penugasan terus wah mikirnya enggak dicek, enggak dikontrol.
Itu nanti kalau mau ke sekuritisasi akan ketahuan harganya kemahalan, harganya sulit untuk di sekuritisasi. Karena apa? Ya itu, mentang-mentang aja penugasan terus numpang. Ini yang harus kita hindari. Kalau kebangetan, ya akan saya lakukan tindakan.
Artinya, PLN, Pertamina harus menjaga tata kelola dari setiap penugasan yang ada. Sekali lagi, jangan numpangi, jangan bersembunyi atas nama penugasan, sehingga tata kelolanya tidak efisien, procurement-nya tidak benar. Ini yang harus dihindari dengan yang namanya penugasan itu.
Kelemahan BUMN itu kalau sudah ada penugasan itu menjadi tidak profesional ada di situ, titik lemahnya ada di situ, sehingga profesionalismenya menjadi hilang.
Kembali ke investasi, jadi keputusan investasi ada, boleh, oleh perusahaan. Tetapi pemerintah juga memiliki strategi besar untuk membawa negara ini ke sebuah tujuan yang kita cita-citakan bersama. Sebuah rencana besar, negara itu juga punya. Itulah pentingnya antara profesionalisme dan kepentingan negara, kepentingan perusahaan dan negara ini bisa berjalan beriringan.
Sehingga sekali lagi, tadi saya sampaikan, Saudara-saudara menyampaikan risiko-risikonya, menyampaikan konsekuensinya, menyampaikan kalkulasinya, menyampaikan hitung-hitungannya dalam melihat setiap penugasan itu untuk memberikan dukungan kepada pemerintah terhadap rencana besar yang ingin kita bangun.
Pertamina tadi sudah saya sampaikan, PLN tadi sudah kita sampaikan. Kalau sudah ada rencana dan sudah kita sepakati, jangan mengulur-mengulur.
Sekarang ini yang namanya perubahan itu setiap hari berubah, setiap hari berubah, setiap minggu berubah. Penyesuaian itu kadang-kadang cepat sekali. Sehingga meskipun ada rencana besar yang mungkin setiap saat bisa berubah, karena memang dunianya berubah, teknologi berubah. Dan kesempatan itu, sekali lagi, kesempatan untuk investasi di Pertamina, kesempatan investasi di PLN itu terbuka sangat lebar kalau Saudara-saudara terbuka, membuka pintunya juga lebar-lebar.
Keterbukaan itu yang saya inginkan dan diinginkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja. Saya berikan contoh, Pertamina misalnya. Sudah bertahun-tahun yang namanya Rosneft itu, di Tuban itu, ingin investasi. Sudah mulai, saya mengerti, tapi Rosneft-nya pengin cepat, tapi kitanya enggak pengin cepat. Ini investasi yang gede sekali, Rp168 triliun, tapi realisasi baru kira-kira Rp5,8 triliun.
Terakhir, sudah alasannya ada saja, minta kereta api lah, minta jalan tol, baru mulai berapa persen Rp5 triliun itu, 5 persen saja belum ada. Enggak ada masalah kok, memang fasilitas seperti itu pemerintah yang harus membangun, enggak ada masalah. Sampaikan ke kita, ini ada masalah karena ini. Tapi kan problemnya bukan itu, problemnya comfort zone.
Zona nyaman itu yang ingin kita hilangkan, zona rutinitas itu yang ingin kita hilangkan, enggak bisa lagi kita masih senang dengan comfort zone, sudah enggak bisa lagi. Di dekatnya lagi ada TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indotama) juga sama, investasinya 3,8 miliar Dolar AS.
Juga sudah bertahun-tahun ini, sudah sebelum kita sudah ada, kemudian ada masalah, belum jalan-jalan juga. Saya perintah, saya dilantik itu langsung saya ke TPPI lho. Setelah saya dilantik 2014 saya langsung ke TPPI, karena saya tahu barang ini kalau bisa jalan, itu bisa menyelesaikan banyak hal.
Ini barang substitusi impor itu ada di situ semuanya, semuanya. Turunan dari ini banyak sekali yang Petrokimia, Petrochemical di situ. Sehingga waktu Bu Dirut, saya ke sana yang terakhir. Bu Dirut cerita itu, ya saya bentak itu karena memang benar, diceritai hal yang sama gitu loh. “Bu enggak, enggak, enggak, saya enggak mau cerita itu lagi, saya sudah dengar dari dirut-dirut sebelumnya.” Ya saya blak-blakan memang, biasa.
Tender sudah dua kali, sudah bolak-balik diulang-ulang terus dan progresnya itu saya ikuti, jangan dipikir saya enggak ikuti. Kita mengerti satu dan dua tadi kita ngerti, negara tuh penginnya, kita penginnya neraca kita, neraca transaksi berjalan kita baik, neraca perdagangan kita baik, impor enggak banyak karena kita bisa produksi sendiri, karena kita punya industrinya, kita punya mesinnya, kita punya bahan bakunya.
Loh kok enggak kita lakukan, malah impor. Itu loh yang saya sedih. Karena nanti yang hilang banyak banget ini dari barang ini. Barang ini jadi, yang hilang akan banyak banget itu. Impor-impor itu hilang, banyak hilang semua, itu bisa hilang semuanya, terutama yang berkaitan dengan petrokimia, petrochemical itu banyak sekali dan segala turunannya.
Saya sudah ke TPPI sudah turunannya sampai segitu banyaknya. Saya geleng-geleng betul, barang kayak gini enggak cepat-cepat dijalankan. Kalau saya, 24 jam penuh saya kerjain agar ini segera jalan. Pertamina dapat keuntungan dari situ, negara dapat keuntungan dari substitusi impornya, kemudian akhirnya neraca perdagangan kita baik, neraca transaksi berjalan kita menjadi baik.
Rampung kita, currency kita bisa anjlok. Kalau ini bisa kita selesaikan, tidak setiap bulan kita harus nyiapin dolar untuk bayar barang-barang impor tadi. Di PLN juga. Kembali dulu ke ini dulu, ke elpiji dulu. Kalau DME (dimethyl ether) ini bisa, hitung-hitungannya saya sudah dengar.
Kalau gas itu kan kita berapa 800 Dolar AS, DME ini kalau hitung-hitungannya investor bisa kira-kira 640, tapi Pertamina masih minta 680. Oke, itu negosiasi bisa. Segera rampungkan, sehingga kembali lagi kita enggak usah impor gas elpiji lagi.
Artinya, kembali lagi neraca kita akan semakin baik. Kemudian yang berkaitan dengan PLN, masalah transisi energi ke renewable energy, ke energi baru terbarukan. Ya kita ini ditanya oleh dunia, Indonesia itu punya kekuatan yang besar sekali, geotermal kita punya 24.000 megawatt, hydropower kita punya sungai itu lebih dari seribu sungai, besar dan sedang, gede-gede semua, lebih dari seribu.
Dua sungai saja, Sungai Kayan di Kalimantan Utara itu bisa kira-kira 13.000 megawatt. Sungai Mamberamo itu bisa 24.000 megawatt, baru dua sungai. Kenapa kita enggak segera masuk ke sana? Karena investasinya gede, besar. Oleh sebab itu, apa? Ya gandeng investor, PLN gandeng, gandeng.
Karena sekali lagi, nanti energi yang green ini harus diberi ruang tersendiri, wilayahnya dibedakan, grade-nya dibedakan, transmisinya dibedakan. Karena akan kita alirkan ke kawasan industri yang produknya nanti produk hijau, yang mempunyai value, mempunyai harga lebih tinggi dari produk yang biasa.
Sama-sama produknya, tapi ini dari energi hijau, ini dari batu bara. Ini harganya gini. Ruang-ruang seperti itu harus dibuka lebar-lebar, Pak Dirut. Buka lebar-lebar, jangan sampai dipersulit PPA-nya, tapi memang harus dihitung. Sudah kita kelebihan berapa, ini harus tambah berapa untuk selesai tahun berapa, kan semuanya punya hitungan.
Sehingga sekali lagi perizinan PPA, perizinan awal PPA itu semuanya segera di-reform agar semuanya cepat, agar negara-negara lain melihat kita ini memang sudah berubah. Saya kemarin dua kali, berbeda menteri di Dubai dan Abu Dhabi, Menteri Uni Emirat Arab, kemudian di rumahnya Crown Prince MBZ juga berbicara. Apa yang mereka sampaikan kepada saya yang saya senang banget? “Presiden Jokowi, saya melihat Indonesia sekarang sudah berubah baru.” Saya tanya, “Kenapa? Apanya?” “Semuanya serba cepat, saya minta ini sehari dua hari langsung dikerjain. Saya minta ini, sehari dua hari sudah selesai.” Beda seperti yang sebelumnya, yang kita sendiri itu pusing betul berhubungan, baik dengan birokrasi maupun dengan BUMN.
Ini jangan sampai persepsi itu nanti runtuh gara-gara apa yang tadi saya sampaikan tidak dikerjakan dengan cepat. Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya kira ya saya blak-blakan ini bukan karena untuk apa, untuk kebaikan negara kita, untuk kebaikan Pertamina, untuk kebaikan PLN.
Dan saya berharap apa yang saya ungkapkan tadi bisa ditindaklanjuti di lapangan, bisa diimplementasikan. Kalau tidak, silakan sampaikan pada saya, ke Pak Menteri dulu. Kalau ada persoalan-persoalan yang memang mentok besar dan ada politisnya, silakan saya buka pintu saya jam berapa pun.
Kalau ada hal yang besar yang mungkin ada perlu dukungan politis, saya bisa sampaikan oke jalan terus, saya di belakangmu. Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan. Terima kasih.
Leave a Comment