Presidential Threshold “Pengebirian Hak-Hak Demokrasi”

Presidential Threshold “Pengebirian Hak-Hak Demokrasi”
Presidential Threshold “Pengebirian Hak-Hak Demokrasi”

satunusantaranews, Jakarta - Konstitusi secara tegas telah menjamin pemenuhan terhadap hak-hak demokrasi warga negara. Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter of Constitution memiliki kewajiban untuk menafsirkan sebuah Undang-Undang apakah sudah sesuai atau justru mengurangi dan bahkan melanggar hak-hak warga negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI Tahun 1945.

Utamanya terhadap keberadaan undang-undang yang “mengebiri” hak-hak demokrasi warga negara. MK sudah seharusnya benar-benar menjalankan fungsinya untuk menjaga terimplementasikannya secara utuh hak-hak warga negara sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.

Hal inilah yang tergambar dalam Putusan MK 14/PUU-XI/2013 terkait dengan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres yang dilakukan secara serentak, dimana MK secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan Pilpres dan Pileg yang dilakukan secara serentak merupakan original intent dari para perumus UUD 1945 pada saat dirumuskannya Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.

Di sisi lain MK juga menyampaikan bahwa pelaksanaan Pemilu serentak tersebut merupakan penghematan anggaran serta guna mengurangi konflik horizontal di masyarakat. Hal-hal inilah yang diharapkan dapat dilakukan kembali oleh MK dalam menyikapi adanya keinginan untuk penghapusan presidential threshold.

Selain mengacu pada original intent yang terdapat dalam penyusunan UUD 1945, MK juga harus melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya untuk berdemokrasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa sepanjang pemberlakuan presidential threshold, telah terjadi 22 (dua puluh dua) kali pengajuan uji materi terhadap pengaturan tersebut. Kondisi yang demikian menandakan bahwa ada keinginan kuat dari masyarakat untuk menghapus ketentuan ambang batas tersebut.

Bagi kami, ketentuan mengenai presidential threshold jelas-jelas tidak sesuai dengan semangat pembentukan UUD 1945 yang telah menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam berdemokrasi. Presidential threshold secara tidak langsung telah membatasi hak warga negara untuk mendapatkan atau bahkan mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional.

Hak warga negara telah dikalahkan oleh pengaturan ambang batas pengajuan calon Presiden yang hanya boleh dilakukan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik dengan jumlah kursi paling sedikit 20%.

Ketentuan tersebut seakan-akan diciptakan hanya untuk menguntungkan segelintir pihak dan menafikan amanat masyarakat yang telah dibagi habis ke semua partai politik, saya sangat yakin bukan semangat ini yang coba dibangun oleh para pembentuk konstitusi.

Di sisi lain, bila ditelaah lebih mendalam, pengaturan mengenai presidential threshold tidak memiliki korelasi secara langsung terhadap penguatan sistem presidensiil, sistem prresidensiil itu sendiri khakiatnya untuk memperkuat eksekutif agar dapat berjalan seimbang dengan legislatif.

Dengan pengaturan yang ada semacam ini justru mengooptasi kekuatan eksekutif ke dalam kekuatan legislatif melalui pintu masuk ketentuan ambang batas.

Belum lagi persoalan mengenai pengacuan terhadap jumlah kursi yang didapat menggunakan hasil pemilihan legislatif Tahun 2019, hal ini makin memperlihatkan bahwa pilihan utuk menghidupkan presidential threshold makin irasional dan sulit diterima oleh akal sehat.

Bagaimana mungkin hasil pemilu 5 (lima) tahun sebelumnya dapat dijadikan acuan bagi pencalonan Presiden di Tahun 2024, apakah itu artinya kita harus menutup mata terhadap dinamika-dinamika dan perubahan preferensi politik masyarakat yang ada saat ini.

Hal ini makin menguatkan bahwa pemberlakukan ambang batas terhadap pencalonan Presiden merupakan cara untuk “mengebiri” hak-hak warga negara untuk berdemokrasi.

Atas dasar hal tersebut, tentunya kearifan serta kebijaksanaan dari para hakim konstitusi sekali lagi diuji, apakah Mahkamah Konstitusi dapat terus melaksanakan fungsinya sebagai “The Guardian Constitution” atau justru menutup mata dan mengembalikan lagi putusan terhadap uji materi ini menjadi sebuah kebijakan open legal policy.

Tentunya kita sama-sama berharap MK dapat melihat ini sebagai sebuah persoalan yang utuh dan krusial bagi pelaksanaan berdemokrasi di Indonesia.

Baca Juga