satunusantaranews, Tanjabtim – Komitmen Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sangat jelas bahwa untuk membangun Indonesia di mulai dari Desa. Oleh sebab itu untuk mendukung Program Desa tersebut, tentunya Presiden menggelontorkan Anggaran Dana Desa sebesar Rp 257 triliun selama 5 tahun.
Baca juga: Program Pembangunan Harus Menyentuh Kepentingan Masyarakat
Bahkan, menurut Presiden, untuk membangun Indonesia melalui Desa, anggaran tidak pernah mengalami penurunan setiap tahunnya, dengan rincian Rp 20,67 triliun (2015), Rp 46,98 triliun (2016), Rp 60 triliun (2017), Rp 60 triliun (2018), dan Rp 70 triliun (2019), suatu angka yang sangat fantastis sekali bukan.
Baca juga: Kemendesa Bersinergi dalam Penanggulangan Covid 19
Berdasarkan data yang berhasil ditelusuri menunjukkan bahwa, sejak digelontorkannya Dana Desa pada tahun 2015 hingga tahun 2019 untuk 5 tahun itu, terdapat perbedaan jumlah desa yang tersebar sebagai penerima dana desa.
Pada tahun 2015 dana yang digelontorkan sebesar Rp 20,67 triliun untuk 74.093 desa. Lalu pada 2016 dana desa sebesar Rp 46,98 triliun untuk 74.754 desa, kemudian pada 2017 sebesar Rp 60 triliun untuk 74.910 desa.
Alokasi Dana Desa yang menerima bantuan tersebut tentunya termasuk desa-desa yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan jumlah Desa sebanyak 73 desa tersebar di 10 kecamatan dari 11 kecamatan yang ada.
Total Anggaran Program Dana Desa (untuk 5 tahun) yang di kucurkan ke 73 desa pada tahun 2019 adalah sebesar Rp 71.225.440.000, yang digunakan untuk membiayai berbagai sejumlah sarana dan prasarana termasuk penguatan ekonomi pedesaan diberikan Presiden melalui Unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDES).
Pertanyaannya adalah, Program Dana Desa Untuk Siapa dan Kepentingan Siapa? Jujur saja, bahwa sejak bergulirnya Program Dana Desa di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur beberapa tahun terakhir ini, tentunya banyak menuai permasalahan di lapangan, terutama masalah program fisik yang sama sekali tidak memiliki kualitas.
Kami memiliki data-datanya, termasuk data-data fisik tahun 2020 ini sudah dikantongi. Belum lagi kita berbicara masalah BUMDES, anggaran studi banding dan dugaan dana bantuan berbau sumbangan yang di kelola oleh Asosiasi Paguyuban Kepala Desa (APDESI) yang angkanya bervariasi tergantung besaran nilai yang di terima oleh masing-masing desa.
Padahal di dalam organisasi apa pun, seharusnya sumbangan tersebut harus melalui musyawarah sesuai dengan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) Organisasi.
Sumbangan bukan berdasarkan keputusan pengurus APDESI yang setiap tahunnya harus di setor oleh masing-masing Kepala Desa kepada pengurus APDESI. Terkait dengan pungutan tersebut, tentunya perlu ada transparansi penggunaan dana tersebut.
Berdasarkan penelusuran saya di lapangan bahwa dana sumbangan tersebut digunakan untuk memberi cendera mata, bagi setiap Kepala Desa yang telah mengakhiri jabatannya (Purna Bhakti).
Selain hal tersebut, sumbangan juga digunakan apabila ada salah satu Kades yang terkait dengan masalah hukum, maka dana sumbangan tersebut digunakan untuk membayar jasa pendampingan hukum untuk membayar pengacara.
Untuk di ketahui bersama, bahwa sejak di gelontorkannya Program Dana Desa tersebut, tentunya hampir setiap tahun seluruh Kepala Desa melakukan studi banding keluar daerah untuk melakukan kunjungan keberbagai daerah.
Daerah-daerah tersebut adalah di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan Timur, dengan tujuan ingin melihat langsung bagaimana mengelola Dana Desa serta pengelolaan Bumdes yang diselingi oleh kegiatan Bintek.
Pada kegiatan tersebut, setiap Kepala Desa yang mengikuti ataupun yang mewakili di bebankan biaya yang besarannya tergantung daerah yang akan di kunjungi.
Bahkan bisa dipastikan, bahwa andaikan Wabah Covid -19 ini tidak berbahaya, studi banding Kepala Desa tetap dilaksanakan, seperti tahun 2019 yang lalu dengan mengunjungi Desa Kulon Pujon di Malang.
Kami banyak mengikuti kegiatan studi banding yang dilakukan oleh APDESI dan di dampingi oleh Dinas Pemerintahan Desa Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Banyak hal yang dipelajari selama mengikuti kegiatan studi banding, termasuk memantau perkembangan desa-desa yang telah mengikuti kegiatan tersebut.
Namun pada kenyataannya dari 73 Desa yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, mungkin bisa di hitung dengan jari desa-desa yang berhasil memanfaatkan pengalaman dari hasil studi banding tersebut.
Terkait dengan adanya dugaan pungutan sumbangan tersebut, selaku pemerhati Kebijakan Publik Kabupaten Tanjung Jabung Timur, meminta kepada Aparat Penegak Hukum untuk melakukan penelusuran dan menyelidiki dugaan tersebut, karena ini menyangkut uang rakyat dan uang negara yang harus di pertanggung jawabkan.
Selain itu, meminta kepada Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi untuk turun langsung ke desa-desa yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan berdialog langsung dengan masyarakat.
Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi, jangan hanya menerima laporan, namun akan tetapi bagaimana carut marutnya kebocoran Dana Desa di lapangan.
Selain meminta kasus-kasus dana Desa yang sudah bermasalah hendaknya di tuntaskan, sehingga ada efek jera bagi siapa saja yang di duga melakukan penyimpangan terhadap dana desa.
Bayangkan apabila kebocoran itu terjadi, maka Program Membangun Indonesia dari Pedesaan tidak akan pernah terwujud.
Leave a Comment