satunusantaranews – Jakarta. Radio komunitas menawarkan alternatif bagi kebutuhan warga akan informasi yang relevan dengan lingkungan hidupnya. Namun, nasibnya tak kunjung membaik karena sejumlah masalah, dari regulasi sampai pengelolaan internal.
Dalam berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia, radio komunitas memiliki peran cukup penting. Peran ini tidak hanya muncul ketika masa darurat bencana tetapi juga dalam proses mitigasi bencana. Contohnya bisa kita saksikan ketika erupsi Gunung Merapi 2010, gempa bumi dan tsunami di Mentawai 2010, juga tanah longsor di Banjarnegara 2015 lalu.
Ironisnya, peran penting ini berbanding terbalik dengan kembang-kempis pengelolaan radio komunitas itu sendiri. Radio komunitas harus berhadapan dengan berbagai problem yang memaksannya dikelola dengan berbagai keterbatasan. Sejumlah persoalan tersebut antara lain hambatan di seputar proses perizinan penyiaran, regulasi yang tidak berpihak, juga tantangan dari pengelolaan internal.
Untuk mendiskusikan lebih jauh seputar permasalahan radio komunitas, 24 Agustus 2016 lalu peneliti Remotivi Wisnu Prasetya Utomo mewawancarai ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) Sinam M. Sutarno melalui surat elektronik.
Berapa jumlah radio komunitas di Indonesia saat ini?
Menurut permohonan izin yang disampaikan ke Kemkominfo, ada lebih dari 1.000. Dari jumlah itu yang menjadi anggota JRKI ada 423 dari 17 Propinsi yang sudah ada JRK (Jaringan Radio Komunitas ) Wilayah. Sedang radio dari 5 propinsi Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Nusa Tenggara Timur ada sekitar 25 yang sedang proses menjadi anggota JRKI.
Apa problem utama yang dihadapi oleh radio komunitas?
Dalam menjalankan peran dan fungsinya radio komunitas berhadapan dengan berbagai persoalan yang diakibatkan oleh pelaksanaan regulasi yang tidak konsisten di lapangan. Regulasi dalam mendorong tumbuh dan berkembangannya radio komunitas juga masih lemah.
Sebagai contoh adalah proses perizinan. Dari pengalaman, proses ini panjang, lama dan melelahkan. Untuk mengurus izin radio komunitas harus memiliki kesabaran yang luar biasa. Ada yang prosesnya 2 tahun, 5 tahun, bahkan 8 tahun. Padahal jika mengacu ke Permenkominfo 28 tahun 2008 harusnya tak lebih dari 6 bulan.
Proses ini juga memberatkan karena syarat perizinannya hampir sama dengan radio swasta. Radio komunitas diharuskan membayar Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHPF) yang paling sedikit 1 juta rupiah per tahun. Padahal radio ini bukan radio komersil yang mendatangkan keuntungan.
Bisa dijelaskan lebih spesifik hambatan terkait proses perizinan?
Ini proses yang sangat sulit. Seabrekprosedur administrasi yang harus dikerjakan mungkin bagi sebagian orang yang sudah terbiasa dalam administrasi sangatlah mudah. Tetapi bagi petani, buruh, dan nelayan, untuk mengerjakan proposal perizinan membutuhkan waktu dan pikiran yang cukup banyak. Kemudian melengkapi syarat seperti 250 KTP dari komunitas juga bisa menjadi persoalaan yang serius. Ternyata tidak semua orang memiliki KTP yang masih berlaku, atau kalau masih berlaku ada yang hilang entah ke mana.
Jadi untuk mengurusnya, tak jarang harus terlebih dahulu membantu anggota komunitas untuk mengurus KTP. Ini baru dari KTP saja. Akta Notaris juga tak mudah terutama untuk radio komunitas yang jauh dari kota karena biasanya tidak ada di desa. Biaya akta notaris untuk daerah daerah yang jauh dari kota biasanya sangat mahal.
Adakah hambatan dari KPID sebagai regulator?
Setelah semua syarat administratif sudah bisa terpenuhi, untuk menyerahkan proposal perizinan ke KPID tidak gampang. Persoalannya, KPID berada di ibukota propinsi. Jadi untuk penyerahan ke propinsi selain membutuhkan waktu yang lama juga biaya yang tidak sedikit, apalagi bagi yang jauh dari kota propinsi. Di Jawa Tengah saja, misalnya, orang Cilacap mau menyerahkan perizinan ke Semarang butuh 7-8 jam perjalanan sekali jalan. Ini Jawa, bagaimana dengan daerah lain yang selain jauh juga sarana transportasinya belum memadai?
Hal lain, ketika proposal sudah dianggap lengkap, belum tentu Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) bisa diselenggarakan karena KPID belum tentu memiliki anggaran. Di beberapa wilayah, biaya EDP dibebankan kepada lembaga penyiaran. Bagi lembaga penyiaran swasta mungkin tidak masalah dengan beban biaya ini, tetapi bagi lembaga penyiaran komunitas seperti radio ini beban berat untuk membiayai proses EDP dan biaya transportasi komisioner KPID. Permasalahan ini sempat kami keluhkan ke KPI Pusat, hingga pada tahun 2012 diselenggarakan EDP pendampingan bagi daerah yang tidak mengalokasikan EDP akan dibiayai KPI Pusat.
Bagaimana dengan proses di Kominfo?
Andai radio komunitas mendapatkan rekomendasi kelayakan dari KPID dan siap maju di Forum Rapat Bersama (FRB) untuk mendapatkan Izin Penyelenggara Penyiaran (IPP) Prinsip dari Kominfo, tantangannya luar biasa.
Tantangan pertama kali adalah apakah radio komunitas masuk dalam pembahasana FRB atau tidak. Pengalaman tahun 2012, radio komunitas tidak pernah masuk dalam agenda pembahasan di FRB, hanya diselip-selipkan dalam pembahasan yang ada. Sampai kemudian ada kesepakatan di Kominfo bahwa mereka akan menggelar FRB khusus radio komunitas. Hal ini mungkin bukan karena desakan JRKI tetapi juga karena Kominfo mengembangkan program pendirian 500 radio komunitas. Kabarnya hanya terealisasi 200 radio di perbatasan dan mengalami kesulitan perizinan juga seperti yang kami alami.
Tantangan selanjutnya ketika FRB sudah dilakukan dan radio komunitas dapat IPP Prinsip, masih ada lagi yang harus dihadapi. Misalnya proses pengurusan Izin Siaran Radio (ISR) yang harus menggunakan spesifikasi pemancar bersertifikat. Padahal radio komunitas biasanya menggunakan jasa perakit lokal yang selain harga terjangkau juga mudah perbaikannya. Namun sayangnya pesawat (pemancar) bikinan perakit lokal belum bersertifikat, jadi ini tidak bisa mendapat ISR. Kalau mau mendapatkan sertifikat, biayanya tak kurang dari 12 juta. Maka pilihannya mau tak mau adalah beli pesawat pabrikan yang bersertifikat yang harganya 12-17 juta.
Apa saja problem internal yang dihadapi?
Dari sisi kelembagaan, beberapa radio komunitas masih belum tertata dengan baik. Ini membuat pola pengorganisasian belum terencana dan terimplementasikan dengan baik. Sementara dari sisi program siaran, radio komunitas yang memiliki relasi dengan banyak pihak telah mengembangkan program siaran yang cukup beragam baik isu maupun cara mengemasnya. Namun sebagian radio komunitas masih terjebak dalam hiburan semata.
Sedangkan dari pendanaan, radio komunitas masih mengandalkan kepedulian beberapa individu dan kelompok karena dikelola dengan model tradisional. Proses kaderisasi juga masih lemah karena mobilitas anggota komunitas yang sangat dinamis. Belum lagi membangun kerelawanan dalam diri kader butuh waktu yang panjang.
Ada perbedaan pengelolaan antara radio komunitas di Jawa dan luar Jawa?
Kalau pengelolaan radio komunitas di JRKI hampir tidak ada perbedaan yang mencolok. Paling pembedanya adalah bahasa siaran dan acara acara favorit dalam radio. Biasanya yang menjadi kegemarana komunitas adalah acara berbahasa lokal dengan kemasan budaya lokal, seperti kacapain Sunda, macapatan Jawa, osingan Banyuwangi, berbalas pantun di Melayu. Biasanya semakin lokal sebuah mata acara, semakin digemari. Perbedaan yang nampak biasanya dari siapa yang menginisiasi radio komunitas itu berdiri. Jika digagas oleh organisasi atau kelompok dalam masyarakat, radio ini akan banyak mengemas program siaran sesuai dengan kebutuhan kelompok dan organisasinya. Misalnya pertanian, pengurangan risiko bencana, kepemudaan, keagamaan, adat istiadat, dan sebagainya. Tetapi jika radio digagas awal oleh individu, biasanya hiburan lebih mendominasi, interaksi yang ada lebih banyak saling sapa dan kirim lagu.
Bagaimana dengan radio komunitas di daerah perbatasan? Apa tantangan yang dihadapi?
Dari sisi pemerintah, sebenarnya sudah ada program seperti rencana pendirian 500 radio komunitas. Tapi kalau dilihat, pemerintah belum melihat radio komunitas sebagai kelembagaan komunitas, baru sebatas teknologi dan siaran saja. Tantangan terbesar radio komunitas di manapun selain regulasi dari pemerintah, adalah kelembagaan itu sendiri. Nyawa dari radio komunitas adalah kerelawanan, jika mampu menghadirkan kerelawanan itu pastilah radio komunitas akan bisa berjalan. Namun kerelawanan tidak bisa dilahirkan dari pelatihan pelatihan dan alat-alat siaran yang bagus, tetapi dari proses pengorganisasian yang baik.
Dalam soal teknis, banyak sekali kendala yang bisa menghambat penyiaran di perbatasan. Misalnya saja energi karena tidak tersedianya listrik yang terjangkau dari sisi biaya. Untuk menggunakan genset, misalnya, radio komunitas yang bersiaran minimal 5 jam akan membutuhkan minimal 5 liter bahan bakar minyak, kalau saja harga eceran bahan bakar minyak di perbatasan saat ini 15 – 20 ribu rupiah maka kebutuhan harian untuk ini bisa 75-100 ribu. Tentu ini sangat mahal bagi media penyiaran yang tidak mencari profit dan tidak memiliki sumber pendanaan yang tetap.
Kendala teknis lainnya misalnya ada kerusakan alat siaran. Untuk perbaikan atau membeli suku cadang yang hanya ada di kota tentu memakan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kalau alat-alat itu hanya ada di Jawa, bisa berbulan bulan mati siaran hanya gara-gara alat. Padahal kalau radio sudah off dalam waktu yang lama, membangun komunitas kembali menjadi sulit
Apa yang dilakukan oleh JRKI dalam upaya mengatasi problem-problem tersebut?
JRKI memiliki 4 mandat utama dari anggota yakni advokasi, pengembangan kapasitas, representasi dan kemitraan. Dalam hal advokasi misalnya, kami mendesakkan percepatan pemberian izin untuk radio komunitas baik melalui KPI maupun Kominfo. Berbagai serial diskusi dan pertemuan untuk mempercepat proses perizinan kami lakukan. Sebelum tahun 2011, radio komunitas hampir tidak pernah dibahas dalam perizinan kominfo. Akhir tahun 2011 tercatat hanya 3 radio komunitas yang mendapat IPP dan 50 yang memperolah IPP Prinsip.
Kami juga bergabung dengan koalisi masyarakat sipil seperti Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) dan Sahabat Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) untuk ikut serta dalam advokasi perubahan UU Penyiaran. JRKI pada saat pembahasan RUU Penyiaran di masa pemerintahaan yang lalu bahkan telah membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tandingan. Namun akhirnya proses pembahasan itu kembali ke awal setelah pergantian pemerintahaan.
Dalam revisi UU Penyiaran, apa yang menurut anda perlu ditambahkan?
JRKI memiliki harapan bahwa agar undang-undang penyiaran ke depan mampu menjamin tumbuh dan berkembangnya radio komunitas bersama dengan lembaga penyiaran yang lain. Di sini ada kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembanganya lembaga penyiaran komunitas baik dalam pengembangan kapasitas, teknis dan pendanaan.
Radio komunitas memiliki peran besar misalnya dalam peristiwa-peristiwa bencana. Menurut anda apakah perlu ada regulasi yang mengaturnya?
Dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, tidak ada pasal khusus yang mengatur tentang penyiaran kebencanaan. Padahal, pengaturan ini sangat penting mengingat Indonesia adalah negeri rawan bencana. Jadi, dalam UU Penyiaran yang baru harus terdapat bagian khusus tentang penyiaran kebencanaan.
Salah satu masukan dari kami adalah dibutuhkannya lembaga penyiaran khusus yang bersifat sementara (darurat – emergency) pada masa tanggap darurat bencana. Lembaga ini diselenggarakan oleh satu atau gabungan beberapa lembaga penyiaran dan difasilitasi oleh otoritas penanggulangan bencana. Nah, di sini negara wajib menyediakan alokasi frekuensi khusus untuk penyiaran kebencanaan, dengan proses perizinan yang cepat dan mudah.
Dikutip Kembali : 24 Agustus 2016 lalu, peneliti Remotivi Wisnu Prasetya Utomo. (ray/foto ilustrasi ist)
Leave a Comment