Proses Rekrutmen Calon Kepala Daerah Sarat Kepentingan Politik dan Praktik Tak Wajar

satunusantaranews-Jakarta, Proses rekrutmen calon kepala daerah sarat kepentingan politik dan praktik tak wajar, sehingga menghambat munculnya calon-calon kepala daerah yang memiliki kualifikasi yang memadai untuk menjadi kepala daerah. Tak terkecuali menghambat calon-calon berasal dari kader murni partai, demikian diungkapkan Saan Mustafa saat Diskusi Forum Legislasi dengan tema "Kekhawatiran Menguatnya Dinasti Politik" di Gedung DPR, Jakarta (28/7). Oleh karenanya, proses rekrutmen calon kepala daerah menjadi bagian penting yang harus kita pikirkan.

Praktik seperti itu pada akhirnya menimbulkan konglomerasi bagi pemilik modal dan dinastik politik, lanjutnya, sebab banyak calon kepala daerah memiliki akses kekuasaan dengan petinggi partai dan praktik rekrutmen instan lainnya. Bahkan bagi pemilik modal di dalam dukungan itu ada istilah konglomerasi yang misalnya bisa membuat calon tersebut menjadi calon tunggal. Untuk mengalahkan pertahanan, dia borong partai, ujar Saan.

Celah hukum dalam UU Pilkada menjadi pintu masuk untuk menggeser calon dari unsur kader murni partai yang seharusnya mendapat prioritas tiket maju dalam pilkada. Celah hukum itu juga yang memberi ruang pasar gelap rekrutmen calon pilkada bagi seseorang mendapatkan rekomendasi dukungan dari partai. Saan mengusulkan untuk menutup ruang konglomerasi dan memborong partai, maka syarat dukungan untuk maju menjadi calon kepala daerah itu sebaiknya diturunkan. Misalnya tidak perlu harus mendapatkan 20 persen berdasarkan kursi DPRD setempat, tetapi cukup 10 persen saja.

Disisi lain, anggota Komisi II DPR lainnya Mardani Ali Sera menyoroti munculnya dinasti politik dalam proses rekrutmen calon kepala daerah. Menurutnya dinasti politik membuat wajah demokrasi di daerah menjadi sangat buruk, bahkan menjadi residu dalam politik.

Sedangkan bagi Zulfikar Arse Sadikin, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, mencatat bahwa  proses rekrutmen menjadi barometer berfungsi tidaknya proses pendidikan dan pembinaan partai. Kalau fungsi rekrutmen partai berjalan mestinya partai tak perlu membuka buka pendaftaran, jelas Zulfikar.

Sementara itu,  Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengingatkan bahwa dinasti politik menunjukkan kuatnya oligarki sebuah partai yang dianggap bisa membahayakan partai itu sendiri karena cenderung destruktif. Oligarki partai telah menjadikan semuanya ditentukan elit partai di tingkat pusat. Dampaknya terjadi hegemoni di semua lini partai mulai dari pembiayaan, keputusan, dan lainnya yang ditentukan oleh pimpinan parpol.

"Jadi, parpol ini menyumbang kekerabatan dan praktek transaksional dalam politik sangat besar. Ditambah lagi kesadaran masyarakat rendah, maka upaya melanggengkan kekuasaan itu tak berubah," pungkas Titi.

Penulis: Bambang P
Photographer: Baskom
Sumber: Komisi II DPR RI

Baca Juga