satunusantaranews – Jakarta. Kabar PT. PLN (Persero) memiliki utang hingga Rp 500 triliun mengundang perhatian publik. Nilai utang sangat besar itu dinilai sangat tidak masuk akal dan membahayakan keberadaan perusahaan listrik milik Pemerintah.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera turun tangan memeriksa keuangan PLN melalui audit atau Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atau audit investigatif. Audit BPK perlu segera dilaksanakan untuk mengetahui secara menyeluruh dan mendasar akar masalah keuangan PLN.
“Dari hasil audit tersebut, baru dapat dibangun rekomendasi konstruktif dan sistematis untuk merancang strategi dan langkah penyehatan PLN ke depan. Tidak cukup sekedar dengan langkah instan setiap tahun, berupa permintaan suntikan dana kompensasi dari Pemerintah,” jelas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan dalam kondisi keuangan yang tertekan seperti sekarang, PLN sebaiknya melaksanakan renegosiasi dengan pihak pembangkit listrik swasta untuk meninjau ulang klausul TOP (take or pay). TOP adalah kesanggupan PLN membeli berapapun jumlah listrik yang dihasilkan oleh pembangkit swasta untuk selanjutnya disalurkan kepada pelanggan.
Klasul itu, menurut Mulyanto, sangat memberatkan dan bisa menjadi salah satu penyebab kacaunya keuangan PLN. Untuk itu PLN perlu mengajak produsen listrik swasta membangun kesetiakawanan menanggung beban (sharing the pain) atas kondisi perlistrikan yang drop karena musibah nasional Covid-19.
“PLN harus berani meminta penyesuaian kesepakatan kerjasama dengan produsen listrik swasta karena angka-angka asumsi dalam perjanjian tidak sesuai kenyataan.
Asumsi pertumbuhan listrik yang semula diperkirakan tumbuh mencapai 7%, nyatanya tidak pernah beranjak lebih dari 5%. Demand listrik industri yang terus turun, karena deindustrialisasi dini, semakin anjlok karena Covid-19.
Maka praktis, yang kemudian terjadi adalah surplus listrik terutama Jawa-Bali,” jelas Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi PKS, Bidang Industri dan Pembangunan ini menilai perencanaan bisnis dan pengelolaan keuangan PLN kurang matang.
Terbukti saat ini terjadi over supply dan menekan keuangan PLN dari dua sisi: Pertama, sisi investasi yang tidak tepat dengan utang luar negeri yang berbasis dolar dan kedua, pembayaran atas perjanjian pembelian listrik swasta yang sebenarnya tidak diperlukan, namun harus dikeluarkan karena terkena penalti take or pay.
Belum lagi, efisiensi dalam Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) listrik PLN yang masih belum sukses, terbukti BPP dari pembangkit listrik PLN ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan BPP dari listrik swasta.
“Maka, memang seharusnya PLN mengerem implementasi skenario 35.000 MWe disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan listrik. Proyek pembangunan investasi infrastruktur pembangkitan perlu dievaluasi ulang,” tandas Mulyanto. (ahy/md : foto ist)
Leave a Comment