RDP Pansus PCR DPD RI Undang Pakar Ekonomi UI dan Politisi Senior

RDP Pansus PCR DPD RI Undang Pakar Ekonomi UI dan Politisi Senior
RDP Pansus PCR DPD RI Undang Pakar Ekonomi UI dan Politisi Senior

satunusantaranews, Jakarta - Rapat Dengar Pendapat Pansus PCR DPD RI yang dilaksanakan pada (8/2) mengundang Pakar Ekonomi UI Faisal Basri dan Politisi Senior Akbar Faizal.
Rapat yang dilaksanakan secara langsung dan virtual ini dihadiri oleh semua anggota Pansus, baik secara fisik, maupun secara virtual.

Fahira Idris senator dari DKI Jakarta, Anak Agung Gede Agung dari Bali, Ahmad Bastian dari Lampung, Maya Rumantir dari Sulawesi Utara, Elviana dari Jambi hadir secara fisik. Sementara sisanya hadir secara virtual. Untuk narasumber juga demikian. Akbar Faizal hadir fisik, sedangkan Faisal Basri hadir secara virtual.

DPD membentuk Pansus PCR ini, karena kuatnya desakan masyarakat di daerah. Setiap kali kami bertemu dengan masyarakat, pertanyaan tentang tes PCR selalu muncul. Misalnya, mengapa harga tes PCR selalu berubah-ubah? Mengapa masa berlakunya hanya 3 hari? Mengapa harganya berbeda antara Jawa dan luar Jawa? Dan masih banyak pertanyaan yang lain, ujar Fahira saat membuka rapat.

Lebih lanjut, Ketua Pansus PCR yang juga putri pengusaha nasional Fahmi Idris mengatakan bahwa desakan masyarakat semakin kuat setelah sejumlah media dan LSM merilis laporan yang menguatkan asumsi adanya praktik bisnis tidak sehat di balik kebijakan tes PCR yang diberlakukan pemerintah.

“ICW pernah melansir bahwa keuntungan penyedia jasa tes PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp.10,46 triliun. Itu belum termasuk keuntungan yang didapat importir,” ujar senator yang akrab dipanggil Uni.

RDP Pansus PCR DPD RI Undang Pakar Ekonomi UI dan Politisi Senior

Akbar Faizal yang hadir secara fisik mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan paparan dan hasil investigasinya. Dalam slide setebal 17 halaman, mantan anggota DPR RI dua periode tersebut menyatakan bahwa sulit untuk memungkiri adanya permainan bisnis di balik PCR.

“Pada Agustus 2020, ketika tarif PCR berada di angka Rp1.500.000, kami melakukan assessment terhadap semua komponen PCR. Dari basic reagen hingga jasa. Totalnya hanya Rp356.000. Jadi, ada selisih harga Rp1.135.000 antara harga real dengan harga yang dibayar masyarakat. Hitung-hitungan kami, untuk Jakarta saja, keuntungan dari bisnis PCR ini bisa mencapai Rp50.774.225.365 perminggu,” ujarnya.

Sementara Faisal Basri yang hadir secara virtual mengatakan bahwa sebenarnya ingin hadir fisik, namun karena kondisi kesehatananya yang tidak memungkinkan, akhirnya memutuskan untuk hadir secara virtual.
Menurutnya, Covid-19 adalah persoalan public health yang seharusnya diperlakukan sebagai public helath bukan public goods.

“Ketika Covid-19 diperlakukan sebagai public goods, maka akan ada conflict of interest dalam penangannya. Akibatnya, semua kebijakan terkait penanganan Covid-19 akan dianggap sebagai peluang bisnis dan mengeruk keuntungan,” ujar ekonom senior yang juga politisi tersebut.

Faisal Basri memotret masalah dari sudut pandang ekonomi-politik, sedangkan Akbar Faizal melihatnya dari sudut pandang politik-hukum.

Penulis: Amanda/ B.Tjoek
Editor: Nawasanga

Baca Juga