satunusantaranews, Jakarta – Dalam rangka penguatan green economy, Pemerintah berupaya melakukan rehabilitasi mangrove yang juga dapat mempertahankan kestabilan bentang alam pesisir. Upaya pemerintah ini disampaikan langsung oleh Wakil Menteri LHK, Alue Dohong dan Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Hartono, Plt. Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK, Helmi Basalamah, Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Satyawan Pudyatmoko, dan Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Ditjen PDASRH KLHK, Saparis Soedarjanto, secara daring pada Senin (11/10).
Wakil Menteri Alue menjelaskan jika program penanaman mangrove sesuai arahan Presiden Jokowi berguna untuk mempertahankan kestabilan bentang alam melalui salah satunya pengendalian abrasi laut dan mereduksi dampak dari bencana tsunami.
Berkurangnya luas daratan akibat abrasi diketahui menimbulkan berbagai macam kerusakan dan degradasi lingkungan, yang paling parah dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil, demikian pula bencana tsunami yang dapat menimbulkan kerusakan besar dan merengut banyak korban jiwa.
Dan Mangrove merupakan fitur alami yang mampu secara signifikan meredam dan menurunkan abrasi laut dan juga magnitude bencana gelombang tsunami, sehingga eskalasi bencana dan potensi kerugian, serta korban dapat direduksi.
Mangrove juga berperan besar dalam pengendalian perubahan iklim melalui kemampuannya dalam menyimpan dan menyerap karbon 4-5 kali lebih banyak dari hutan tropis daratan. Semua keunggulan ekosistem mangrove tersebut menjadi pertimbangan penting yang menyatu dengan upaya menjaga kestabilan tata kelola bentang alam dan perbaikan mutu lingkungan, tutur Wakil Menteri, Alue.
Rehabilitasi Mangrove berperan penting untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik Indonesia berupa keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena wilayah hutan mangrove berada di pesisir-pesisir yang merupakan titik pangkal terluar untuk batas Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen wilayah Indonesia dengan batas wilayah laut negara lain disekitarnya.
“Jangan sampai batas negara ini tergerus oleh abrasi akibat tidak adanya ekosistem mangrove,” jelasnya.
Selanjutnya perbaikan ekosistem mangrove secara paralel memperkuat sosial ekonomi masyarakat, serta mendorong pembangunan hijau melalui green economy. Ekosistem mangrove memiliki multi manfaat, seperti menjadi lahan budidaya ikan, kepiting, udang melalui pola silvofishery, pengolahan produk mangrove non-kayu, serta wisata alam juga memperkuat pengembangan kawasan industry yang hijau (green industrial park).
Dengan banyaknya manfaat dari keberadaan ekosistem mangrove, maka sejak tahun 2020, pemerintah telah menjadikan program rehabilitasi mangrove menjadi salah satu Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). PEN melalui Penanaman Mangrove telah menyerap ratusan ribu HOK (hari orang kerja) melalui penanaman bibit mangrove di ratusan ribu hektar areal pesisir yang terdegradasi.
Dengan rehabilitasi mangrove dua manfaat besar dapat tercapai yaitu meningkatnya tutupan hutan mangrove, yang secara paralel meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu KLHK bekerjasama dengan BRGM gencar mempercepat langkah rehabilitasi mangrove.
Format tata kelola yang diinisiasi KLHK akan menjadi acuan bagi akselerasi rehabilitasi mangrove nasional seluas 600.000 ha di 9 propinsi prioritas sampai tahun 2024 yang akan dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) bersama KLHK c.q. Ditjen PDASRH KLHK beserta seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh Indonesia. Percepatan rehabilitasi mangrove tidak hanya dimaksudkan sebagai upaya perbaikan lingkungan, tetapi juga sebagai upaya penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat pada masa pandemi.
“Ke depan, rehabilitasi mangrove dengan melibatkan masyarakat juga diharapkan dapat memperkuat aspek kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lebih berkelanjutan,” ujar Kepala BRGM, Hartono.
Hartono pun menyebut jika institusinya akan menginisiasi pembentukan Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM), meniru keberhasilan Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) yang berhasil mempercepat restorasi gambut. DMPM ini memperkuat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
Diharapkan model desa seperti ini dapat diakomodasikan secara lebih permanen dalam bentuk pengelolaan perhutanan sosial mangrove. Selain dalam bentuk hutan sosial, rehabilitasi mangrove dan pengelolaan mangrove selanjutnya juga dapat dilakukan dalam bentuk partnership dan bahkan dalam bentuk model perizinan jasa lingkungan.
Untuk itu BRGM bersama KLHK akan mereview regulasi yang ada, serta mengembangkan kebijakan yang memungkinkan model-model tersebut dapat dilaksanakan. Agar semua target penugasan rehabilitasi mangrove dapat dilaksanakan secara terstruktur dan sistematis, perlu disusun dokumen roadmap dan rencana percepatan rehabilitasi mangrove sampai dengan tahun 2024.
“Dokumen ini diharapkan menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait. Dokumen dimaksud disusun berdasarkan Peta Mangrove Nasional (PMN) terbaru sebagai base line yang disepakati bersama,” ujar Kepala BRGM.
Sementara itu Plt. Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK, Helmi Basalamah menyebutkan jika Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan.
“Pemerintah secara konsisten terus mendorong upaya-upaya rehabilitasi ekosistem mangrove dengan melibatkan semua pihak yang terkait, terutama masyarakat di seluruh Provinsi di Indonesia,” ujar Helmi
Kegiatan RHL Mangrove disebutnya menjadi salah satu kegiatan prioritas pemerintah saat ini dengan tujuan untuk meningkatkan tutupan hutan dan lahan serta perbaikan kualitas lingkungan, namun dengan tetap dapat meningkatkan nilai ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat, serta meningkatkan kestabilan bentang alam yang berperan penting dalam geo-strategi, geo-politik dan geo-ekonomi nasional.
Helmi pun menjelaskan ada tiga aspek yang paling tidak harus digarap agar program rehabilitasi mangrove dapat terlaksana dengan baik, pertama adalah pengelolaan terhadap aspek kawasan, yaitu menyelesaikan info terkait dengan lokasi lahan rehabilitasi ekosistim mangrove yang akan dikerjakan di seluruh Indonesia.
Keragaman lokasi dan karakteristik tempat rehabilitasi mangrove seperti di wilayah terabrasi, bekas-bekas lahan tambak, dan lain-lain termasuk wilayah perbatasan negara, harus didekati dengan mempertimbangkan aspek fisik, biologi, dan sosial yang sangat beragam tersebut.
Selanjutnya aspek kelembagaan, rehabilitasi mangrove ini harus dibuat sedemikian rupa bagaimana melibatkan masyarakat termasuk pada mengedepankan peran, serta masyarakat setempat yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung dari keberadaan ekosistem mangrove antara lain melalui pengembangan pariwisata, budidaya ikan tangkap dan lain sebagainya.
Terakhir aspek teknologi, pendampingan, dan lain sebagainya, yaitu dalam rangka menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan hasil rehabilitasi mangrove.
Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, Satyawan Pudyatmoko, melanjutkan jika secara garis besar target rehabilitasi mangrove sampai tahun 2024 seluas 600.000 ha dapat diperinci sebagai berikut.
Pada tahun 2021 dilakukan pembentukan kondisi pemungkin yang mencakup penguatan basis perencanaan, koordinasi antar lembaga (Dirjen PDAS-RH, Dirjen KSDAE, Kepala Daerah, KPH, Kepala Desa, Kelompok Masyarakat) dan penguatan organisasi kerja, inisiasi pembentukan Desa Mandiri Peduli Mangrove (DMPM), dan pelaksanaan rehabilitasi mangrove seluas 29.500 ha.
Pada tahun 2022 direncanakan untuk melakukan rehabilitasi mangrove seluas 228.200 ha, penguatan terhadap rintisan DMPM pada tahun 2021, dan pembentukan DMPM baru sebanyak 50 Desa. Pada tahun yang sama dilakukan upaya-upaya koordinasi untuk mengintegrasikan rehabilitasi mangrove dalam pengelolaan hutan dan lahan.
Program pada tahun 2023 adalah rehabilitasi mangrove seluas 199.675 ha. Secara bersamaan akan dibentuk 50 DMPM baru, dan penguatan DMPM yang sudah ada, dan program integrasi rehabilitasi mangrove dalam pengelolaan hutan dan lahan mulai dilakukan.
Program pada tahun 2024 adalah pelaksanaan rehabilitasi mangrove seluas 142.625 ha, membentuk 50 DMPM baru, dan memperkuat DMPM yang sudah ada. Integrasi rehabilitasi mangrove dalam pengelolaan hutan dan lahan telah tuntas dilaksanakan.
Selaras dengan hal tersebut Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Ditjen PDASRH KLHK, Saparis Soedarjanto menegaskan jika terdapat harmoni antara konservasi mangrove dengan pembangunan infrastruktur dan kawasan industri maka tercipta green industrial park yang justru mampu memantapkan & meningkatkan kestabilan landscape pesisir.
Hal tersebut akan menciptakan kawasan pesisir sebagai kutub pertumbuhan (growth pole) yang bisa mendorong peningkatan ekonomi nasional dan mengedepankan pemberian akses yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat.
Leave a Comment