satunusantaranews, Yogyakarta – Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi Nahdlatul Ulama di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.
Para ulama pesantren pendiri Nahdlatul Ulamamempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta.
Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar.
NU berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah.
Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat.
Sejak berdiri pada 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik terformulasikan dalam mabadi’ khaira ummah. Secara etimologi, mabadi’ khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab.
Pertama, mabadi’ yang artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik, ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat. Sedangkan secara epistemologi, mabadi’ khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar.
Allah berfirman, “jadilah engkau sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) [PP LTN NU, 1992: 77]
Ide Nahdlatul Ulama untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah) sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafa’ bi al-‘ahd (komitmen) dan al-ta’awun (komunikatif dan solutif).
Tiga prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi’ khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.
Perkembangan zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21—25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi’ khaira ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah (kontinuitas/konsistensi) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan).
NU berkeyakinan bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi upaya mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia.
Lima prinsip mabadi’ khaira ummah di atas merupakan metodologi khas ulama pesantren. Hal ini tentu bagian dari watak otentik NU yang selalu dipandang mempunyai irama dan tempo perubahan sendiri.
Mabadi khaira ummah merupakan jalan panjang bagi terwujudnya obsesi warga Nahdliyyin untuk menjadi umat terbaik (khaira ummah) yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga Nahdliyyin dapat mewarnai dan menjadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatanan khaira ummah, atau dalam konteks kekinian dikenal dengan istilah masyarakat madani. (PP LP Ma’arif NU, 2004: 66)
Dalam tataran implementasi, mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana dimaklumi, istilah amar ma’ruf nahi munkar pertama kali diperkenalkan Al-Quran dalam surah Al-A’raf ayat 157.
“Memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang jelek-jelek.”
Artinya, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi’ khaira ummah sebagai sebuah karakter kaum Nahdliyin. Sehingga terbentuknya masyarakat madani (khaira ummah) sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kaum Nahdliyin mampu mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar. Maka komunitas yang termasuk dalam klasifikasi khaira ummah adalah kelompok yang mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar di samping juga sifat-sifat yang lain.
Sebaliknya upaya amar ma’ruf nahi munkar secara benar akan dapat mewujudkan masyarakat madani. (Majalah Aula, 1992: 93)
Aktualisasi doktrin di atas tentu memerlukan pemahaman dan perhitungan yang cermat, mengingat doktrin tersebut sangat berkaitan dengan realitas sosial. Karena itu ulama NU memahami bahwa amar ma’ruf (mendorong berperilaku positif) adalah memberi upaya memberikan motivasi kepada masyarakat agar berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik dari sisi fisik maupaun metafisik.
Maksudnya, setiap umat Islam mempunyai kewajiban moral untuk melakukan aktivitas yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya. Segala aktivitas individu diupayakan mempunyai basis sosial yang cukup tinggi.
Sehingga kemajuan yang diraih oleh seseorang secara otomatis memberikan dampak kemajuan terhadap orang lain. Maka dari interaksi antarindividu (ukhuwwah islamiyyah) akan tercipta interaksi sosial (ukhuwwah insaniyyah) dalam bingkai menuju cita-cita masyarakat madani (ukhuwwah wathaniyyah).
Sedangkan nahi munkar adalah menolak dan mencegah segala yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Pada tataran implementataif, nahi munkar sangat ditentukan oleh sejauh mana keberhasilan upaya amar ma’ruf.
Sebab keseimbangan peran keduanya dalam upaya pembentukan khaira ummah sangat menentukan corak implementasi pada tataran teknis. Keduanya harus mengacu kepada upaya kemakmuran dan keadilan dengan pola persuasif dan pendekatan budaya lokal.
Maka NU berpendapat bahwa implementasi amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) harus lebih diutamakan sampai terciptanya tatanan kehidupan manusia yang beradab.
Langkah berikutnya adalah nahi munkar (melarang berbuat kemungkaran). NU juga meyakini bahwa upaya pembentukan khaira ummah tetap mengacu kepada kaidah, man kana amruhu ma’rufan, fal-yakun bil-ma’ruf, (siapa yang memerintah kebaikan, haruslah dengan cara yang baik pula).
Leave a Comment