satunusantaranews, Jakarta- Pernahkah kalian mendengar bioskop untuk orang tunanetra? Bagaimana bisa? Ternyata sebuah bioskop di Qianmen, Beijing memutarkan film setiap hari sabtu.
Ternyata tak sedikit penonton yang datang ke pemutaran film hari Sabtu yang diselenggarakan oleh bioskop Xin Mu. Bioskop ini terdiri dari sekelompok relawan yang pertama kali memperkenalkan film kepada tunanetra di Cina.
Metode yang digunakan cukup sederhana. Seorang narator mendeskripsikan apa yang terjadi di layar, termasuk ekspresi wajah, bahasa tubuh, latar belakang, dan pakaian. Mereka juga menjelaskan petunjuk visual yang mungkin terlewatkan. Seperti perubahan pemandangan dari daun-daun berguguran menjadi salju yang menggambarkan proses berjalannya waktu.
Pada bulan Juli tahun lalu ternyata, grup tersebut memutar film berjudul “A Street Cat Named Bob”. Sebuah karya yang mengisahkan tentang seekor kucing berwarna “ginger” yang membantu seorang pria tunawisama berhenti mengonsumsi narkoba dan menjadi penulis terkenal.
Wang Weili, sang narator, menggambarkan apa yang terjadi di layar seperti ini: “Salju turun di London, sebuah kota di Inggris. [Kota itu] agak mirip dengan Beijing, tapi bangunan-bangunannya tidak terlalu tinggi,” jelasnya di sela-sela dialog yang disulih suara dalam bahasa Mandarin.
“Seorang pria dengan teropong, dua tabung silinder panjang yang digunakan untuk melihat benda dari jarak jauh, sedang memantau James saat ia bernyanyi di sudut jalan bersama Bob si kucing.” Tidak ada suara bisikan atau bunyi orang mengunyah saat Wang berbicara. Seluruh penonton mendengarkan dengan saksama.
Bukan hal yang mudah Wang terinspirasi untuk memperkenalkan film ke penonton tunanetra setelah menggambarkan film “The Terminator” kepada seorang teman. “Saya melihat keringat mengucur dari dahinya ketika saya mendeskripsikan adegan aksi. Ia sangat bersemangat,” tutur Wang. “Ia terus berkata, beri tahu aku apa yang kamu lihat!”
Wang menyewa sebuah kamar kecil di sebuah halaman tua Beijing dengan uang tabungannya pada tahun 2005 dan memulai klub film berbicara itu dengan sebuah televisi layar datar kecil, DVD player bekas, dan sekitar 20 kursi. Bioskop seluas 20 meter persegi miliknya itu selalu penuh.
Menjelaskan film ke penonton tunanetra tidaklah mudah, terutama jika alur ceritanya memiliki elemen sejarah atau imaginatif yang belum pernah mereka alami. Sebelum memutar “Jurassic Park”, misalnya, Wang membiarkan penonton memegang beberapa model dinosaurus.
Xin Mu telah memutar hampir 1.000 film selama 15 tahun terakhir dan sekarang bekerja sama dengan bioskop lebih besar untuk pemutaran film mereka. Pandemi juga telah mendorong timnya untuk membuat jasa streaming dengan rekaman narasi audio.
Cina memiliki lebih dari 17 juta orang dengan gangguan penglihatan. Delapan juta di antaranya buta total, menurut Asosiasi Tunanetra Cina. Dalam beberapa dekade terakhir, kota-kota di Cina telah membangun jalan untuk tunanetra, menambahkan huruf braille pada panel lift, dan memperbolehkan orang tunanetra mengikuti ujian untuk pekerjaan pemerintah dan perguruan tinggi.
“Tapi komunitas tunanetra tidak punya banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kultur,” kata Dawning Leung, pendiri Asosiasi Deskripsi Audio di Hong Kong. Ia juga mengatakan bahwa kaum tunanetra terkucil dari bioskop, teater atau pameran seni lantaran tak ada kesadaran tentang perlunya narasi audio.
“Bahkan deskripsi audio di museum ditulis dengan mempertimbangkan orang yang dapat melihat. Mereka memberi tahu tentang sejarah sebuah benda atau di mana [benda itu] ditemukan, tapi jarang menggambarkan seperti apa rupanya,” tutur Dawning.
Selama bertahun-tahun para aktivis telah mendorong undang-undang yang meminta deskripsi audio untuk film, program televisi atau karya seni di Cina daratan, seperti yang ada di Hong Kong. Namun, kemajuannya tidak banyak.
Pemutaran film gratis dari Xin Mu menawarkan kesempatan langka bagi penonton tunanetra untuk menjadi bagian dari box office terbesar di dunia. Salah satu yang menikmati pemutaran film unik ini ialah, Zhang Xinsheng. Ia menempuh perjalanan selama dua jam untuk menonton film bersama teman-temannya. Dengan bantuan tongkat putih dan sebuah peta yang dapat “berbicara”, ia mengikuti sistem kereta bawah tanah Beijing.
Zhang kehilangan penglihatannya pada awal usia dua puluhan karena kondisi degeneratif. Namun, sejak menjadi tunanetra ia jatuh hati pada dunia sinema lewat klub “talking film”, di mana sukarelawan memberikan narasi yang jelas kepada pengunjung tunanetra atau buta parsial.
“Setelah saya mendengarkan film untuk pertama kalinya pada tahun 2014, rasanya seperti sebuah dunia (baru) terbuka untuk saya,” kata Zhang. “Saya merasa bisa mengerti filmnya terlepas dari kebutaan saya. Ada gambar-gambar jelas yang terbentuk dalam pikiran saya ketika [sang narrator] mendeskripsikan adegan yang ada…[adegan] tertawa, tangisan.”
Leave a Comment