SEJARAH Membuktikan : Bank Centris Internasional TIDAK PERNAH menerima Bantuan Dana BLBI. Ini realita nya ?!!

Jakarta, satunusantaranews.co.id – Bank Centris Internasional (BCi) tidak pernah menerima dana BLBI. Jangankan dana BLBI, uang promes nasabah senilai Rp492 milyar dengan penyerahan jaminan lahan 452 hektar, yang menjadi hak BCI, juga tidak pernah diterima.
"Bank Centris Internasional (BCI) dengan nomor rekening 523.551.0016, tidak pernah menerima Rp1 pun dari Bank Indonesia (BI). Yang menerima adalah Centris International Bank (CIB), nomor rekening 523.551.000. CIB ini rekening rekayasa jenis individual di BI," kata Andri Tedjadharma, pemegang saham BCI, dengan nada bergetar.
Bagaimana Andri mengetahui BCI tidak terima uang BI? Dari mana pula ia tahu ada rekening rekayasa CIB di BI?
Andri lantang menjawab: "Dari audit BPK yang dijadikan bukti oleh jaksa selaku pengacara negara di sidang gugatan BPPN melawan BCI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tahun 2000."
Lantas, bagaimana proses BCI sampai digugat BPPN dan mampu membuktikan sebaliknya? Berikut informasi lengkapnya:
Perjanjian BCI dengan BI
Bermula pada 9 Januari 1998. BCI menandatangani dua akta perjanjian dengan Bank Indonesia (BI), yakni: Akte 46 tentang "Perjanjian Jual Beli Promes Nasabah dengan Jaminan" dan Akte 47 tentang "Gadai Saham".
Akte 46 membatalkan akte sebelumnya, akta 75 dan 76. Adapun isi Akta 46, BCI menjual promes nasabah sebesar Rp492 milyar kepada BI dan tetap memberlakukan jaminan 452 Hektar, dengan ditambah kuasa memasang hak tanggungan nomor 48. Sebaliknya, BCI akan menerima pembayaran dari BI sebesar Rp391 Milyar ditambah diskonto dibayar dimuka sebesar Rp99 milyar.
Sayangnya, perjanjian yang seharusnya berlangsung hingga 26 Desember 1998, seperti dihilangkan begitu saja dengan BCI dibekukan operasinya (BBO) pada 4 April 1998.
Pada hari itu pula, BPPN datang menguasai dan mengambilalih seluruh dokumen dan aset BCI. Direksi dan karyawan dipaksa keluar dari Kantor BCI, tanpa dibolehkan membawa dokumen apapun. Ini juga terjadi pada 10 kantor cabang BCI di tanah air.
Sejak itu, hari-hari gelap menaungi BCI. Direksi sulit mendapatkan informasi dan penjelasan, baik dari BPPN maupun BI. Sampai akhirnya di tahun 1999, BPPN memanggil BCI ke kantor pusat di Gedung Danamon. Di sini, BCI ditagih untuk segera mengembalikan dana BLBI sebesar Rp812 milyar. Tentu saja BCI menolak.
Keesokan harinya, BCI dipanggil Kejaksaan Agung. Kejaksaan mengusulkan diadakan kesepakatan damai. BCI tak keberatan dan mengajukan permohonan. Antaralain, ditunjukkan outstanding pada 4 April 1998, dan rekening koran dari Agustus 1997 sampai April 1998. Selain itu, "roya" jaminan. Permohonan BCI ini, tidak bisa dipenuhi BPPN.
Muncul kecurigaan BCI. Karena aktiva BCI yang hanya promes nasabah sebesar Rp 492 milyar, dan lawannya adalah dana pihak ketiga, saldo merah, serta modal dan uang yang disuntikkan akhir Desember 1997 sebesar 20 juta USD, tidak sama dengan yang ditagihkan sebesar Rp812 milyar.
"Waktu itu, saya katakan pada jaksa, bahwa ini pasti ada kesalahan," jelas Andri.
Penyelesaian kembali dilakukan BPPN di Dharmawangsa Hotel. Dalam pertemuan itu, BPPN menunjuk Orias dan Teguh Wirahadikusuma. Tapi, kembali buntu. Tak lama berselang, pidana khusus (pidsus) kejaksaan turun memproses.
Proses pemeriksaan dilakukan Kasubdit Kunto Surono. Kesimpulannya, tidak ditemukan unsur pidana, karena adanya perjanjian dan jaminan. Tapi, BCI kembali dipaksa menandatangani surat APU, MRNIA dan MSAA.
Andri tegas menolak. "Kami tidak bisa setuju, karena kami menilai ada sesuatu yang aneh. BCI belum tentu punya utang, kenapa kami sebagai pribadi yang buta atas apa yang terjadi, harus menandatangani APU. Kami memilih untuk diuji di pengadilan," ujarnya.
Setelah itu, perkara balik lagi ke Datun Kejaksaan. Dan, mereka langsung mensomasi BCI ke pengadilan. Dalam somasi ini, lagi-lagi BCI dipaksa untuk menandatangani APU. BCI tetap kukuh tidak mau tandatangan. Akhirnya, gugatan dilayangkan ke PN Jaksel. Namun, gugatan tak kunjung berproses. Bahkan, kejaksaan berniat menarik gugatan.
Meski menyadari tidak mempunyai bukti apapun, karena seluruh dokumen telah dikuasai BPPN sejak 4 April 1998, BCI bersikeras melanjutkan. BCI memberi dua opsi: jalan terus atau damai. Akhirnya,
BPPN menyatakan tidak bisa berdamai, kecuali BCI tandatangan APU, sehingga gugatan terus berlanjut.
Bukti Audit BPK di PN Jaksel
Dalam persidangan jaksa selaku pengacara negara mengajukan bukti hasil audit BPK. Di sinilah baru semua pokok persoalan terungkap. Ternyata, audit BPK itu bukan untuk BCI. Dari kronologi saja, terpampang jelas itu audit BPK di BI tentang CIB.
Akhirnya terbukti, dasar gugatan yang digunakan BPPN berupa Akte 39, yakni perjanjian antara BPPN dengan BI tentang pengalihan cessie senilai Rp629 milyar, juga bukan untuk BCI. Melainkan untuk CIB.
Patut diketahui, Akte 39 merupakan perjanjian antara BPPN dan BI tentang pengalihan cessie (hak tagih) untuk CIB, meski judulnya BCI. Akte ini ditandatangani oleh Drs Abubakar Karim M.A, Kepala Urusan Kredit Bank Indonesia, yang beralamat tinggal di Pejaten Barat, Pasarminggu, Jakarta Selatan, dan Glenn Muhammad Surya Yusuf M.B.A, Ketua BPPN, beralamat tinggal juga di Pejaten Barat, Pasarminggu, Jakarta Selatan. Akte ditandatangani di hadapan notaris Mudofir Hadi SH, pada 22 Februari 1999.
"Jadi, sangat jelas dan terang benderang, bukti-bukti dari BPPN sendiri yang telah disahkan majelis hakim, memperlihatkan BCI dengan nomor rekening 523.551.016, tidak menerima Rp1 pun uang dari BI. Penerima uang BI itu adalah CIB dengan nomor rekening 523.551.000, jenis individual," ulang Andri.
Andri Tedjadharma menarik napas. Tampak guratan wajahnya memendam emosi. 27 tahun kehidupannya hilang karena permainan kotor BI dan BPPN. Kembali, dia melanjutkan kisahnya.
Pada kesimpulan pembelaan di PN Jaksel,
Andri secara lugas menuliskan: adanya perbuatan penggelapan dan menipuan terhadap bangsa dan negara Indonesia, dengan memanfaatkan BCI pada proses pencairan dana yang sudah digelapkan melalui 'bank di dalam bank'.
BI melakukan penggelapan menggunakan perjanjian dengan BCI, yakni Akte 75, 76 dan 46. Akte-akte ini dijadikan dasar BI mencairkan uang ke rekening rekayasa CIB. Selanjutnya, BI mengeluarkan uang dari rekening CIB melalui call money over night.
"CIB tidak terdaftar kliring di BI, tapi bisa ikut kliring dalam proses transaksi call money over night, antara BCI dengan bank swasta lain. Diantaranya, BCI dengan Bank Mega, BCI dengan Bank Sino, dan BCI dengan Bank BTPN," ungkap Andri. Dan, proses itu berlangsung dari Oktober 1997 sampai April 1998. "Setiap hari kecuali hari libur," tambahnya.
"Inti persoalan, di BI ada dua nomor rekening atas nama Bank Centris di Bank Indonesia. Tapi, nomor rekening BCI adalah 523.551.0016. Nomor rekening ini dimiliki BCI sejak 1993. Sedangkan CIB dengan nomor rekening 523.551.000, adalah jenis individual. Padahal, nasabah dari BI adalah bank-bank swasta dan pemerintah. Tidak boleh pribadi," papar Andri.
Mengetahui bukti audit BPK seperti itu, Jamdatun I Made Suwinda SH, meminta Andri Tedjadharma agar tidak melakukan rekovensi. Andri mengiyakan. Apa alasannya? "Demi bangsa dan negara. Karena kasus ini krusial, seperti kami tulis di kesimpulan, kami menyetujui untuk tidak rekovensi," tuturnya.
Majelis hakim PN Jakarta Selatan dalam putusan nomor 350/Pdt.G/2000/PN. JAK.SEL, menolak gugatan BPPN. Demikian pula putusan pengadilan tinggi nomor 554/Pdt/2001/PT. DKI. Gugatan BPPN ditolak karena prematur. BPPN mengajukan kasasi pada 2002. Sejak ini, perkara BCI menguap. Tidak ada kabar putusannya hingga 2022 atau 20 tahun setelah kasasi diajukan. Tepatnya lagi setelah ada Satgas BLBI.
Era Satgas BLBI
Pemerintah membentuk Satgas BLBI tahun 2021. Satgas langsung bekerja menagih dan memanggil Andri Tedjadharma sebagai obligor BLBI, melalui media massa. Andri emosi. Ia mendatangi kantor Satgas. Menegaskan dirinya bukan obligor BLBI. Dia paparkan semua. Tapi, dianggap angin lalu. Satgas terus bekerja melalui tangan PUPN dan KPKNL.
PUPN menerbitkan Surat Penetapan No. PJPN-49/PUPNC.10.01/2021 dan Surat Paksa Bayar No. 216/PUPNC.10.00/2021, dengan didasari surat DJKN No. S-589.MK.6/2012. Lewat SK ini, KPKNL Jakarta 1, di bawah komando Rofli Edi Purnomo, menagih Andri sebesar Rp897 milyar.
Andri langsung menggugat ke PTUN. Alasannya sangat kuat. BCI masih berproses di peradilan. Karena itu, tidak boleh ada satu perkara yang sama diadili dua lembaga. "PUPN ngawur. Seenaknya saja membuat putusan. Tidak boleh di negeri ini, satu perkara sama diadili dua lembaga," lantangnya.
Hakim PTUN sepakat dengan itu. Gugatan Andri dikabulkan. Dalam putusan nomor 428/G/2022/PTUN.JKT., majelis hakim membatalkan dan mencabut penetapan jumlah utang dan paksa bayar PUPN. Hal sama dilakukan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT. TUN) Jakarta. Sebagaimana tertuang dalam putusan perkara nomor 202/B/2023/PT.TUN.JKT. PUPN mengajukan kasasi.
Di tengah proses kasasi atas putusan PTUN dan PT. TUN, tiba-tiba ada kabar dari Satgas BLBI, yang menginformasikan salinan putusan kasasi BPPN melawan Bank Centris, sudah ada di PN Jakarta Selatan. Andri terkejut. Bertahun-tahun ia menunggu dan mencari putusan MA itu, namun tak pernah didapat, kini setelah 20 tahun berlalu, Satgas dengan mudah mendapatkan. Sungguh aneh.
"Relas putusan MA nomor1689K/Pdt/2022 tanggal 1 November 2022, tapi salinan putusan MA nomor 1688 K/Pdt/2003, tanggal 2 November 2022," Andri mengungkap satu keanehannya.
Andri lantas berkirim surat ke MA. Jawaban MA melegakan hatinya. Panitera Muda menyatakan, MA tidak pernah menerima permohonan kasasi BPPN melawan Bank Centris Internasional.
"Kami sudah mengajukan tiga kali surat kepada MA, dan jawabannya tetap sama: bahwa tidak ada permohonan kasasi dari BPPN dalam kasus ini," ujarnya.
Tapi, lagi-lagi, fakta hukum itu diabaikan begitu saja oleh KPKNL. Mereka terus menagih Andri. Jumlah tagihan berubah menjadi Rp4,5 triliun. Bahkan, bersama Satgas BLBI melakukan pemblokiran dan penyitaan harta pribadi, serta pelelangan, berdasarkan salinan putusan kasasi nomor 1688.k/Pdt/2003 yang telah dibantah MA.
Andri emosional. "Perbuatan mereka keji sekali. Negara dibuat rusak oleh mereka," serunya.
Sekadar diketahui, harta pribadi Andri yang disita, meliputi lahan 3,2 hektar di Bali yang ditaksir Satgas BLBI senilai Rp287 milyar, jauh dari taksiran pemiliknya ,sebesar Rp1 triliun. Selanjutnya, lahan di Lembang Bandung senilai Rp100 milyar, kantor di Jakarta Barat senilai Rp6 milyar, dan villa di Mega Mendung-Bogor, juga senilai Rp6 milyar.
Kerugian Negara Jauh Lebih Besar
Andri mengakui kerugian yang dialami BCI dan pribadinya cukup besar. Namun, ia mengingatkan, dari persoalan yang dialami BCI dan dirinya, paling utama mencakup kerugian negara. Jauh lebih besar lagi.
Pertama, adanya rekening rekayasa CIB, jenis individual yang tidak terdaftar bisa ikut kliring di Bank Indonesia. Ini adalah praktik "bank dalam bank di Bank Indonesia". Sangat merugikan rakyat, bangsa dan negara Indonesia, selain membahayakan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Merusak berbagai institusi dan lembaga negara.
Andri menegaskan, praktik "bank dalam bank di Bank Indonesia" menunjukkan adanya "negara dalam negara", dalam rangka merampok uang negara atau uang rakyat. Sehingga, bila didiamkan dan tidak segera dibenahi, proses hukum yang sedang dilakukan BCI, dapat berakibat fatal karena menyangkut kredibilitas penyelenggaraan negara.
Masyarakat perbankan bisa kehilangan kepercayaan terhadap Bank Indonesia sehingga menimbulkan krisis kepercayaan yang lebih besar. Lambat atau cepat akan menarik SBN. Kemudian, sejalan ditariknya dana tersebut dari BI, yang diperkirakan mencapai 4.500 triliun, maka likuiditas negara menjadi kering.
Likuiditas negara yang kering akan berimbas LC atau produk paper lainnya ditolak dunia. Dari sini bisa muncul krisis keuangan. Krisis keuangan menjadi krisis multidimensional. Timbul rush dan sebagainya.
"Sebagai warga bangsa Indonesia, saya pribadi tidak menginginkan itu semua terjadi. Saya sudah sadari itu sejak di persidangan di PN Jaksel tahun 2000. Karena itu, saya menyetujui saran jampidum untuk tidak rekonvensi," ujar Andri mengingatkan kembali apa yang telah terjadi tahun 2000 silam.
"Tapi, kuburan tua ini telah dibongkar oleh Satgas BLBI, PUPN dan KPKNL. Bahkan, lebih gila lagi dengan menyita harta pribadi saya dan keluarga. Dan, inilah peristiwa yang sebenarnya " tuturnya.
BI telah menggelapkan uang negara dengan memanfaatkan BCI. Di mana BI tidak membayarkan promes nasabah senilai Rp492 milyar ke rekening BCI, tapi ke rekening CIB. Kemudian menjual promes itu ke BPPN senilai Rp629 milyar.
Adapun BPPN melakukan penggelapan atas harta BCI yang dikuasai sejak 4 April 1998. Meliputi brankas berisikan uang puluhan milyar, perhiasan emas dan berlian, surat berharga, kendaraan roda dua dan empat, berbagai aksesoris dan perlengkapan kantor, dan 10 gedung kantor cabang BCI. Selain itu, juga menggelapkan sertifikat lahan 452 hektar milik BCI yang telah diserahkan BI sebagai tindak lanjut Akte 39.
Seperti terungkap dalam sidang gugatan Andri Tedjadharma terhadap Kemenkeu dan BI, BI telah menunjukkan bukti dokumen penyerahan jaminan BCI dari BI ke BPPN. Penyerahan dilakukan pada Jumat, 21 Juli 2000, dengan ditandatangani dari pihak BI yang menyerahkan Lili Nyulianti dan Yukon Afrinaldo. Sedangkan pihak penerima BPPN adalah Siti Khodijah, Andi Mulia, dan Frieda Chandrawati.
Namun, faktanya, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang saat ini masih berjalan, KPKNL menyatakan tidak pernah menerima jaminan itu.
"Jadi, sangat jelas, terjadi penggelapan jaminan dan aset BCI oleh BPPN, yang notabene setelah BPPN dibubarkan, diserahkan Depkeu atau sekarang ini Kemenkeu," jelasnya.
Andri menambahkan, Kemenkeu melalui KPKNL juga telah menyita harta pribadinya.
"Silahkan masyarakat menilai apa yang sebenarnya telah terjadi terhadap BCI dalam pusaran BLBI 1998, hingga sekarang ini. Saya tidak mencari kesalahan dan menyalahkan. Saya hanya menyampaikan kebenaran yang bisa diakui bersama," pungkasnya.
Komentar