Categories: Pariwisata

Sengketa Perebutan Lahan Taman Sriwedari, Kembali Ramai Kini Menggandeng KPK dan Kejati Jateng

satunusantaranews, Solo – Sengketa perebutan lahan Taman Sriwedari seluas hampir 10 hektare antara Pemkot Solo dan ahli waris Taman Sriwedari, kini kembali ramai (setelah beberapa saat mereda, red). Dan keluarga Ahli Waris RM Wirjodiningrat, memastikan akan segera mengeksekusi lahan yang di dalamnya terdapat sejumlah bangunan cagar budaya tersebut. Kasus sengketa lahan Sriwedari tersebut telah berlangsung selama 50 tahun.

 

Eksekusi, menyusul setelah diterbitkannya Penetapan Eksekusi Pengosongan No:10/PEN.PDT/EKS/2015/PN.Skt.Jo No:31/Pdt.G/2011/PN SKA Jo No: 87/Pdt/2012/PT.Smg Jo No: 3249-K/Pdt/2012 tanggal 21 Februari 2020 dari Pengadilan Negeri Surakarta.

 

Kuasa Hukum Ahli Waris Wirjodiningrat, Anwar Rachman mengatakan, penetapan eksekusi tersebut berisi perintah eksekusi pengosongan paksa kepada Pemkot Solo untuk menyerahkan Tanah Sriwedari seluas 10 hektare kepada ahli waris Sriwedari, RMT Wirjodiningrat. Sehingga pihaknya akan maju terus untuk eksekusi. Lahan Taman Sriwedari berada di jantung Kota Solo, Jalan Slamet Riyadi.

 

Taman Sriwedari dan Segaran dibangun oleh Pakubuwana X yang merupakan adik ipar KRMT Wirjodiningrat pada tahun 1905. KRMT Wirjodiningrat membeli tanah Sriwedari dari seorang Belanda bernama Johannes Buselar pada 1877 dengan status tanah RVE (hak milik). Versi lain mengatakan bahwa Pakubuwana X membangun Taman Sriwedari di atas tanah pemberian dari Pakubuwana IX.

 

Anwar menjelaskan, pembelian lahan Sriwedari dilakukan oleh RMT Wirjodiningrat pada 13 Juli 1877 dihadapan notaris Peter Jacobus dengan akta jual beli nomor 10. Selain itu Kantor Pendaftaran dan Pengawasan Tanah Surakarta juga mengeluarkan bukti kepemilikan antara lain Recht Van Eigendom No: 295 dikuatkan dengan Akte Assisten Resident Surakarta No: 19 tanggal 05 Desember 1877.

 

Menurut sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, Pakubuwana IX membelinya sebagai hadiah bagi putra mahkotanya. Heri juga menjelaskan bahwa segala bentuk urusan administrasi pada saat itu diurus oleh Patih K.R.A Sasranegara, keluarga dari R.M.T Wirjodiningrat.

Salah satu dokumen yang membuktikan kepemilikan lahan Sriwedari terdapat dalam buku Nawa Windu Paheman Radyapustaka 1890-1960. Buku yang diterbitkan Radyapustaka pada tahun 1960 itu berbahasa Jawa dan memuat keinginan Paku Buwana (PB) X menyulap lahan yang dibeli dari seorang Belanda bernama Johannes Buselar.

 

Dokumen lebih lawas tercatat pada Koran Bromartani terbitan 21 Juni 1877. Pada koran yang berbahasa Jawa itu, tertulis jelas “Griyanipun tuwan Buselar ingkang ngersakaken numbas Kanjeng Ratu Ageng”. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Rumah Tuan Buselar yang ingin membeli adalah Kanjeng Ratu Ageng.

 

Sejarawan Heri Priyatmoko mengatakan Kanjeng Ratu Ageng yang dimaksud adalah PB IX atau ayah dari PB X. Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang berkuasa pada tahun 1861-1893 itu membeli lahan seluas 99.889 meter persegi tersebut untuk dihadiahkan kepada putra mahkota (kelak PB X).

 

“Raja kala itu cukup memerintahkan patihnya untuk mengatur jual beli tanah dan patihnya pada saat itu adalah K.R.A. Sasranegara, yang merupakan kakek R.M.T. Wirjodiningrat. Pembelian tanah tersebut tercatat dalam akta notaris dengan nomor 10 tanggal 13 Juli 1877 dengan harga 65.000 gulden dari warga Belanda Johanness Busselarr.

 

Tetapi Tanah itu baru dibangun menjadi Taman Sriwedari saat PB X berkuasa pada tahun 1905,” jelasnya. Pembangunan taman tersebut bertujuan untuk membuat tempat penyelenggaraan tradisi hiburan di setiap acara Malam Selikuran. Pembangunan Taman Sriwedari, diharapkan juga bisa menjadi tempat hiburan bagi para rakyat, abdi dalem hingga sentana dalem.

 

Sebelum Taman Sriwedari berdiri, daerah tersebut merupakan wilayah dari Desa Talawangi. Saat ini, nama Desa Talawangi lebih dikenal dengan Kelurahan Kadipolo, dengan batas di sebelah utara adalah Jalan Besar Purwosari( saat ini Jalan Slamet Riyadi) dan batas timur adalah Jalan Pasar Kembang (sekarang Jalan Honggowongso), serta sebelah selatan berbatasan Jalan Besar Baron (sekarang Jalan Dr Rajiman).

Demi menyenangkan rakyatnya, Pakubuwana X menganggarkan biaya ribuan gulden untuk membangun taman dan segala hiasan di dalamnya. Anggaran tersebut juga digunakan untuk membeli beraneka ragam satwa.

 

Secara geografis, lokasi tanah Sriwedari memiliki bentuk persegi panjang yang membujur dari barat ke timur. Dimulai dari sebelah barat merupakan bekas taman dan kini menjadi Stadion R.Maladi (stadion Sriwedari), bagian tengah berisi Taman Hiburan Rakyat (THR) yang berisi gedung wayang orang dan gedung kesenian Solo (bekas bioskop), dan sebelah timur terdapat Museum Radyapustaka. Selain bangunan terdapat beberapa telaga buatan yang diberi nama “segara”.

 

Peresmian Taman Sriwedari berlangsung meriah. Dimulai dari siang hari, dimana PB X mengundang diplomat dan perwakilan negara sahabat kala itu, dan diadakan pembagian sedekah makanan bagi seluruh rakyat. Acara kemudian ditutup pada malamnya dengan pesta kembang api dan pemutaran film layar tancap. Tercatat bahwa acara tersebut dilaksanakan pada tahun Dal 1831 atau pada 1899 Masehi.

 

Menurut Heri, PB X mengeluarkan ribuan gulden demi membangun sebuah taman rakyat yang cukup mewah. Taman itu diisi kebun binatang, lapangan sepak bola, gedung wayang orang, gedung bioskop, rumah makan, dan taman air kapujanggan.

 

“Jadi, apa masuk akal jika Sinuhun mengeluarkan duit ribuan gulden untuk membangun taman yang bukan di atas tanahnya sendiri?” tandasnya.

 

PB X membangunnya untuk ajang saling kenal, tempat menyatukan rakyat dari berbagai lapisan sosial. Heri menyayangkan apabila eksekusi dilakukan sehingga ruang publik itu jatuh ke tangan perseorangan dan melunturkan cita-cita awal pembangunan Bon Rojo. Dan pemerintah Kota (Pemkot), kata dia, harus lebih teliti berburu dokumen untuk menjadi novum baru guna melawan eksekusi.

Sementara itu, Pemkot Solo tengah membangun masjid raya di lahan tersebut. Selain akan berdiri masjid megah, di atas lahan tersebut telah berdiri Monumen PON I, Stadion Sriwedari, Gedung Wayang Orang, Museum Radya Pustaka, Museum Keris dan bangunan lainnya. Dan terkait bangunan masjid yang sedang dibangun di atas lahan tersebut, Anwar mengatakan setelah lahan dieksekusi maka akan menjadi milik ahli waris. Pihaknya juga mempertanyakan sertifikat yang telah diakui dimiliki Pemkot Solo.

 

Menanggapi sertifikat yang sempat dikeluarkan oleh BPN atas nama Pemerintah Kota Solo, Anwar menyatakan itu tidak memiliki kekuatan hukum dan akhirnya dibatalkan oleh ahli waris melalui persidangan. Dan ahli waris secara hukum menggugat sertifikat tersebut dan oleh BPN Kanwil Jateng secara resmi sertifikat tanah tersebut menjadi batal, kata Anwar.

 

Namun Pemkot Solo kini menggandeng KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah untuk mengembalikan lahan seluas sekitar 10 hektar tersebut menjadi milik negara. Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan, untuk upaya tersebut, pihaknya sengaja bertemu dengan Koordinator Wilayah 7 KPK Aldinsyah M. Nasution dan Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Kajati Jawa Tengah. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan langkah-langkah untuk mempercepat pemenangan perkara guna mengembalikan tanah Sriwedari.

 

Untuk itu, pihaknya meminta BPN tetap bertahan dengan putusannya bahwa Sriwedari adalah milik dan aset negara. Rudy khawatir, jika berjalan sendiri, tidak bisa memenangkan kasus sengketa tersebut. Kalau kalah, kredibilitas Solo bakal hilang, aset budaya sejarah dan cagar budaya bakal lenyap. Dan ini akan merembet ke aset-aset pemerintah lain, katanya.

 

Aldinsyah menegaskan KPK siap mengawal Pemkot Solo untuk mengembalikan Sriwedari. Sementara, Asnawi dari Kajati Jawa Tengah bersama dengan BPN Surakarta dan Kejari Solo akan segera mempersiapkan novum-novum baru dan bukti-bukti baru. Kita cari celah dengan melengkapi PK selengkap mungkin. Dan kita sudah komunikasi dengan Kejaksaan Agung, urainya.

 

Taman Sriwedari yang merupakan ruang publik dulunya merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Karena perkembangan pemerintahan, Sala menjadi swapraja lalu menjadi Kota Surakarta (Solo). Tanah bekas swapraja sesuai UU menjadi tanah untuk rumah penduduk, pemerintah kota dan keraton. Pihak keraton menyerahkan semua untuk dikelola negara. Sesuai UU Agraria sejak 23 September 1980 tanah di Taman Sri Wedari menjadi milik negara dengan sertifikat milik Pemkot Solo.

Leave a Comment
Published by
Dini SNN