satunusantaranews, Yogyakarta – Pandemi Covid-19 membuat berbagai industri lesu, terutama sektor pariwisata sebagai sektor yang paling terdampak. Ekowisata menjadi jawaban Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sebagai strategi ekonomi pada sektor pariwisata.
Demikian disampaikan secara langsung Direktur Wisata Alam, Budaya dan Buatan Kemenparekraf, Drs. Alexander Reyaan, MM pada seminar virtual yang diadakan oleh Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, (26/6).
Seminar nasional pariwisata dengan tema “Geliat Ekowisata Di Tengah Kenormalan Baru Bagi Generasi Muda” ini turut mengundang Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor, Dr. Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si; Co-Founder Ekowisata Kreatif Indonesia, Afro Indayana S.Tr.Par; dan Travel Blogger, Ashari Yudha.
Alexander menjelaskan Indonesia punya 3 skenario recovery untuk sektor pariwisata yaitu optimist, moderate, dan pesimist. Namun berkaca dari kondisi sekarang ini, Indonesia kemungkinan ada pada skenario pesimist yang diprediksikan sektor pariwisata baru akan berjalan kembali pada kuartal I tahun 2023.
Disamping itu, pemerintah saat ini sudah mengeluarkan pedoman berbasis Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment (Ramah Lingkungan) yang disingkat CHSE. Oleh karena itu pemerintah memfokuskan ekowisata menjadi program utama pariwisata di era new normal, katanya.
Ekowisata adalah wisata yang mementingkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, sumber daya lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam pengertiannya, wisata tidak hanya mementingkan dari sisi turis yang datang saja tetapi tetap memperhatikan lingkungan serta masyarakat lokal tempat wisata tersebut.
Narasumber lainnya, Dr. Eva Rachmawati mengungkapkan bahwa semua turis khususnya generasi muda harus menjadi “Responsible Tourist” dimana bertanggungjawab membuat tempat wisata menjadi lebih layak untuk didatangi dan untuk masyarakat yang tinggal di sana. Turis menjadi kunci penting dalam membentuk ekowisata di Indonesia.
“Tidak harus dengan hal-hal yang besar, bisa juga dengan tidak buang sampah dan mengikuti norma-norma yang berlaku di area itu,” ujar dosen IPB itu.
Media sosial dan perilaku impulsif masyarakat menjadi tantangan dalam menciptakan ekowisata. Masyarakat yang tertarik datang ke tempat wisata baru yang viral lewat media sosial sedangkan wisata tersebut belum siap tentunya akan berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Parkir liar, warung-warung liar, tiket masuk yang terlalu tinggi, kemacetan, dan area yang rusak menjadi contoh buruk wisata yang belum siap.
Demi menghindari hal itu, bisa disiasati dengan melakukan kunjungan per kelompok dengan didampingi 1-2 tutor seperti yang dilakukan Ekowisata Kreatif Indonesia. Afro Indayana selaku co-founder menjelaskan bahwa metode tersebut lebih efektif dibanding datang beramai-ramai tanpa mengetahui daerah yang akan dikunjungi.
“Masyarakat sekitar pun jadi lebih nyaman untuk menerima pengunjung dan pengunjung pun bisa lebih menghargai daerah itu,” kata Afro.
Seminar ditutup dengan penjelasan Ashari Yudha tentang bagaimana menghargai tempat wisata lewat sosial media sebagai generasi muda Indonesia.
Leave a Comment