satunusantaranews – Jakarta.
Kepada yang kami hormati,
Bapak Ir H Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Salam sejahtera Bapak Presiden RI. Senantiasa doa kami panjatkan kepada Allah SWT untuk melindungi dan merahmati Bapak dan keluarga, serta Bangsa Indonesia.
Saya tahu dan menyadari jadwal kerja Bapak sangat padat. Karena itu, kami berharap, melalui Surat Terbuka ini, kami dapat menyampaikan aspirasi dan persoalan yang tengah kami hadapi. Yaitu, adanya rencana pengosongan paksa perumahan negara di Kampus IPDN, di mana kami huni.
Saya menghaturkan Surat Terbuka ini, tak lain agar Bapak benar-benar dapat memahami persoalan perumahan negara yang terjadi di Kampus IPDN secara menyeluruh dan komprehensif. Dengan harapan, prinsip “Negara Hadir” yang Bapak pegang dan gaungkan ke pejabat negara selama ini, bukan hanya jargon atau isapan jempol semata.
Pertama-tama, perkenalkan nama saya Ahmad Yani, putra dari Bapak Dasim Abdullah (Alm), salah satu pegawai Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) yang dipindahkan dari Kota Malang, Jawa Timur, ke Jakarta pada tahun 1973. Bapak saya adalah satu dari kelompok pensiunan “Bedol Desa” dari Kota Malang ke Jakarta. Disebut “Bedol Desa”, karena seluruh staf pengajar dan karyawan yang ada di IIP Malang saat itu, diwajibkan harus ikut pindah ke Jakarta dengan dijanjikan akan diberi rumah atau mendapatkan rumah yang bisa dimiliki.
Bagi pegawai yang menolak pindah diancam mendapatkan sanksi pemberhentian sebagai PNS sehingga terjadilah proses perpindahan. Bukan perkara mudah untuk pindah dari Malang ke Jakarta. Mereka dengan sangat berat hati dipaksa meninggalkan rumah mereka dan tentu saja lingkungan ekonomi, sosial budaya yang menopang kehidupan mereka sebelumnya.
Patut diketahui, pendapatan PNS di masa itu sangat terbatas (tidak ada tunjangan kinerja, dan tanpa tunjangan jabatan) sehingga ada cerita dari orang tua saya, bahwa setiap pertengahan bulannya sudah mulai pusing dengan biaya hidup. Jika di Malang kekurangan itu tertutupi dengan kiriman beras, sayur mayur dan lauk dari kakek, nenek, sanak famili dan kerabat lain (”nempil”). Lalu tiba tiba mereka dipindahkan ke Jakarta ke lingkungan sosial yang baru, di Cilandak, jauh dari sanak Famili.
*Kondisi Cilandak saat itu masih sepi layaknya hutan sementara di Malang mereka bekerja di pusat kota tepatnya di jalan Kawi, yang ujungnya bertemu dengan jalan Ijen (seperti Menteng di Jakarta)
Kondisi itu, mendorong beberapa karyawan berusaha menambah pendapatan dengan membuka usaha jualan makanan, jual sayur dan toko kelontong, jadi hari ini apabila bapak ibu masuk ke komplek IIP Cilandak itu masih ada artefaknya orang orang yang berjualan itu.
Belakangan IIP Jakarta menambah tenaga dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia, termasuk almarhum dr. Mochtar, MSc. dari FK UGM. Beliau ini dokter pertama IIP dan juga staf pengajar. Ada juga Drs Abu Hasan Msi dari Filsafat UGM, serta tenaga kesekretariatan lainnya. Pada masa itu Struktur Jabatan di IIP (kecuali Rektor) tidak diakui Kemendagri sehingga tidak ada tunjangan jabatan sama sekali.
Bersamaan dengan berjalannya waktu satu persatu dari pegawai tadi pensiun. Pertanyaannya, kenapa setelah pensiun tidak meninggalkan rumah mereka? Jawabannya, karena mereka memegang apa yang pernah disampaikan oleh pimpinan terdahulu bahwa jika mereka bersedia pindah ke IIP Jakarta, di sana akan mendapatkan rumah. Tetapi sampai hari ini upaya untuk membantu mereka mendapatkan rumah itu tidak ada sama sekali.
Pada 22 Juni 1998, ada pertemuan silaturahmi warga dengan Rektor Prof Ryass Rasyid. Dalam pertemuan ini, Prof Ryaas Rasyid memberikan pernyataan di hadapan warga bahwa, “dalam hal bantuan pengadaan rumah belum dapat direalisasikan oleh IIP, maka kebijaksanaan yang ditempuh adalah memberikan ijin untuk tetap menghuni rumah dinas di IIP sampai pegawai dan jandanya meninggal dunia. Kebijakan itu sesuai dengan kebijakan rektor sebelumnya termasuk rector pertama Drs, Soejekti Djajadiatma, MSPA”. Sampai kemudian makin banyaklah para pegawai yang pensiun.
Melihat tidak adanya kemajuan dari pihak IIP/IPDN dan Kementerian dalam pemberian rumah ini, pihak pensiunan melakukan upaya untuk untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri melalui jalur legal untuk membantu pihak lembaga/kementerian agar permasalahan bisa diselesaikan secara permanen.
Kami memulai dengan membuka dokumen dan peraturan perundang undangan. Kami menemukan fakta bahwa ternyata Negara memiliki peraturan perundang undangan yang sangat lengkap hingga aturan teknisnya. Dalam prakteknya, alih status rumah Negara yang kemudian dapat dibeli oleh penghuninya pernah dilakukan di lingkungan Kemendagri. Praktek yang kemudian menjadi preseden dan sandaran faktual perjuangan pensiuan IIP/IPDN untuk dapat membeli rumah.
Pembelian rumah negara oleh penghuninya di lingkungan Kemendagri pernah dilakukan di komplek Ditjen Bangdes/PMD (sekaang: Dirjen Bina Pemerintahan Desa) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan. Kantor Ditjen Bina Pemerintahan Desa (baca : Bangdes) itu persis sama dengan komplek IIP. Berada pada satu hamparan antara kantor dengan perumahannya. Di Bangdes saat itu dilakukan “pemagaran” yang memisahkan kantor dan perumahan. Kemudian dilakukan perubahan status rumah sehingga bisa dibeli oleh penghuninya pada tahun 1989.
Pensiunan IIP/IPDN melakukan upaya yang sama, yaitu permohonan alih status pada tanggal 7 Desember 2005. Pada saat itu IPDN dalam kondisi “idle”. Sebagaimana diketahui pada tahun 2004 (Kepres 87 tahun 2004), itu terjadi penggabungan, dua sekolah kedinasan di lingkungan Kemendagri yaitu STPDN di Jatinangor dan IIP di Jakarta. Pembentukan STPDN awalnya diikuti dengan penutupan APDN Daerah. Namun kasus terjadinya sejumlah kasus kekerasan di STPDN yang mengakibatkan beberapa nyawa Praja/mahasiswa hilang memunculkan gagasan penggabungan STPDN dengan IIP menjadi IPDN. Jadi jika sebelumnya Kemendagri ada dua sekolah kedinasan yaitu IIP dan STPDN, lantas melebur menjadi IPDN.
Saat itulah terjadi kondisi idle. Puluhan asrama kosong. Karena semua dipusatkan di IPDN Jatinangor. Di Cilandak hanya ada kegiatan kecil untuk program S2 kelas jauh. Dalam kondisi idle inilah Pensiuanan IIP/IPDN mendapatkan surat pengosongan rumah oleh pihak kementerian dengan alasan dosen membutuhkan tempat tinggal. Argumentasi itu tidak masuk di akal kami.. Karena ada puluhan Asrama Kosong. Juga ruang kuliah tidak maksimal terpakai. Saat itulah pensiuanan IIP mengajukan surat pengalihan status tahun 2003 yang ditandatangani 90% penghuni aktif dan pensiun. Tapi tidak ada jawaban dari pihak kementerian.
Tahun 2008 kami mendapatkan surat peringatan kembali. Saat Sekjennya ibu Diah Anggraini dan menterinya bapak Gamawan Fauzi yang sekarang terkena kasus e-ktp. Kami dipanggil, kemudian berdialog di Kemendagri dan ternyata seluruh dokumen yang sebelumnya sudah kami kirimkan tidak mereka pegang dan dokumentasikan. Jadi pejabat baru kementrian tidak mengetahu sama sekali ujung pangkal dan sejararah kasus kami. Dugaan kami itulah yang terjadi saat ini. Karena itulah surat ini kami buat.
Kementerian tidak tahu apa yang pernah kami lakukan dulu termasuk surat pengajuan alih status itu. Padahal dokumen itu lengkap kami sampaikan ke kementerian dan ada tanda terimanya. Akhirnya kami diminta mengirim ulang. Beberapa waktu kemudian kami mendapatkan jawaban singkat, kementerian tidak bisa/menolak permohonan alih status atau pembelian rumah itu oleh warga. Dugaan kami mereka tidak melakukan kajian apapun kecuali melakukan pendekatan kekuasaan. Satu satunya bahasa yang dikenal oleh pengelola negara pada saat itu.
Kemudian kembali surat surat pengosongan dikirimkan kembali kepada kami. Jadi tidak ada solusi sama sekali, kami disuruh keluar tanpa diberikan apa apa. Puncaknya pada tahun 2010. Kemendagri melakukan pengosongan paksa menggunakan puluhan pasukan satpol PP, polisi bahkan preman tapi Alhamdulillah dapat digagalkan oleh warga. Padahal, pada saat itu kami sudah melakukan pengaduan pada Komnas HAM tapi diabaikan oleh pihak Kemendagri.
Tahun-tahun berikutnya situasi relatif kondusif, walaupun ada surat menyurat namun dilanjutkan dengan dialog yang cukup produktif. Hasilnya saat Prof Ermaya menjabat Rektor IPDN, tepatnya tahun 2016 mengambil satu kebijakan yang menampakkan titik terang dalam penyelesaian masalah rumah di IPDN Cilandak yang sudah berlangsung selama bertahun tahun. Kebijakan yang bisa membuat “yang masuk senyum dan yang keluar senyum”.
Pemberian kompensasi pertama diberikan kepada putra Alm Prof. Madjloes SH. Lalu pada tahun 2018, beberapa rumah lagi dikosongkan dengan cara yang sama. Pemberian kompensasi. Salah satunya diakui oleh pejabat tinggi. Bukti yang kami dapatkan sebuah rumah mendapatkan kompensaisi sebesar 300 juta. Inilah sebenarnya keadilan yang dituntut warga pensiunan. Tidak lagi menuntut untuk diberikan hak yang sama dengan warga komplek BANGDES yaitu membeli rumah, namun cukup berikan kami kompesasi atau tenggang waktu yang jelas, resmi dan disepakati dalam dokumen tertulis selama 5 tahun. Dokumen tertulis membuat pensiunan nyaman dan mendapatkan kepastian waktu untuk mempersiapkan diri. Tidak lagi dihantui surat surat pengosongan setiap waktu dan setiap ganti peimpinan.
Berakhirnya jabatan Prof Ermaya tampaknya akan dilanjutkan oleh pengganti beliau Prof Murtir. Prof Murtir mulai melakukan pendekatan melakukan kunjungan ke rumah rumah. Namun entah kenapa baru beberapa bulan beliau diturunkan tanpa sebab yang jelas. Rumor yang beredar beliau digulingkan oleh klik yang akan membangun dinasti di IPDN. Wallahualambisyawab. Yang jelas PLT Rektor kembali mengubah kebijakan seperti masa lalu bu Diah Anggraeni. Yaitu melakukan pengosongan tanpa kompensasi apapun. Mengusir pensiunan layaknya manusia yang tidak punya harga diri sama sekali. Kami mengajukan permintaan dialog, dipanggil dan terjadi pertemuan. Namun yang terjadi bukan dialog melainkan penegasan bahwa pensiuan harus keluar.
Inilah yang terjadi. Kami mengadukan kasus ini ke ORI dan sudah dilakukan pemerikasaan. Kabarnya sudah ditemukan beberapa praktek mal administrasi. Tetapi LHP-nya hingga kini belum kami terima. Kami juga mengadukan ke Komnas HAM. Komnas Ham pun meminta IPDN/Kemendagri untuk melakukan dialog dengan pensiunan dan menunda pengosongan. Namun seolah tidak peduli dengan ORI dan KOMNAS HAM, sesama lembaga negara berlambang Garuda, IPDN melayangkan Surat pengosongan ke tiga.
Jika yang pertama di tandatangani Menteri. Yang kedua ditandatangani PLT Rektor yang merangkap Sekjen. Surat ketiga ditandatangani Direktur IPDN Kampus Cilandak. Tidak berheti di sana Kemendagri juga sudah melakukan rapat kordinasi untuk pengosongan dengan melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan pemda DKI dan kepolisian pada hari jumat tanggal 13 maret 2020 di Kemendagri.
Tuntutan kami sebenarnya tidak aneh-aneh, Pak, karena kami sadar bahwa ini bukan rumah kami, bukan tanah kami. Tetapi kami ingin diperlakukan adil.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Pak Tugino, pensiunan berusia lebih dari 70 tahun, dengan gaji pensiun tak lebih dari Rp. 1.100.000,- bisa bertahan hidup di luar sana dengan layak. Apalagi gaji yang beliau terima kini hanya 500 ribu rupiah. Karena 3 tahun yang lalu teras RUMAH NYA ROBOH DAN BELIAU HARUS BERHUTANG UNTUK MEMPERBAIKI TERAS RUMAH ITU. Jika beliau diusir tanpa mendapatkan kompensasi yang pantas bisa jadi beliau akan jadi gelandangan di usia tua.
Lantas kapan Negara Hadir dalam wajahnya yang ramah. Yang hadir guna memenuhi amanat kosntitusi. Jadi kami berharap, Bapak Presiden bisa memerintahkan Mendagri untuk menghentikan pengosongan terhadap pensiuan IIP/IPDN pada tanggal 1 April 2020 dan seterusnya memberikan jalan keluar yang adil bagi kami semua. Terima kasih Bapak Presiden. Kiranya itu yang dapat kami sampaikan, Wassalmualaikum wr.wb.
Jakarta, 17 Maret 2020
Keluarga Pensiunan IIP/ IPDN
Foto: DOK Pengosongan 2010
Leave a Comment