satunusantaranews, Jakarta – Survei Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukan bahwa belajar dari rumah (BDR) adalah substitusi yang jauh dari sepadan dengan PTM. Dalam pelaksanaan BDR selama pandemi, responden guru banyak menggantungkan diri pada PJJ daring.
Survei tersebut dilakukan IDEAS terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di 9 provinsi, pada Agustus-September 2021 yang lalu.
“Metode belajar daring paling populer yang dipilih responden guru adalah diskusi virtual melalui aplikasi WhatsApp Group atau Google Classroom dengan persentase sebesar 74,0%. Pertemuan daring melalui aplikasi Zoom dan Google Meet menjadi pilihan guru dengan persentase 32,8 %,” kata Meli Triana Devi, peneliti IDEAS dalam keterangannya (18/12).
Meli menjelaskan bahwa PJJ dengan pertemuan daring yang efektivitas-nya lebih tinggi seperti via zoom atau Google Meet, terlihat masih menjadi pilihan yang sulit dan mahal.
“Sedangkan diskusi virtual via WhatsApp dan Google Classroom dengan efektivitas rendah menjadi pilihan utama PJJ secara sederhana karena ia jauh lebih terjangkau dan murah baik bagi guru maupun peserta didik,” ungkap Meli.
Lebih jauh, Meli memaparkan bahwa belajar daring semakin tidak efektif ketika frekuensi dan durasinya sangat terbatas. Frekuensi belajar daring per pekan sangat bervariasi mulai dari hanya 1 hari per pekan hingga 6 hari per pekan.
“Durasi belajar daring per hari sangat minim, dengan mayoritas responden guru menyatakan hanya 2 sampai 4 jam per hari,” papar Meli.
Menurut Meli pelaksanaan BDR yang tidak efektif, terutama bagi peserta didik dengan keterbatasan sosial-ekonomi, membuat fokus utama pembelajaran tatap muka seharusnya adalah memulihkan learning loss pada peserta didik miskin dan rentan.
“Mengejar PTM tanpa memulihkan learning loss si miskin hanya akan memperlebar kesenjangan. PTM Terbatas harus beradaptasi dan didesain dengan fokus memulihkan learning loss peserta didik paling lemah,” tutur Meli.
Hal tersebut dilakukan dengan cara mendorong sekolah dan guru melakukan pemetaan ulang kemampuan peserta didik (diagnostic assessment) dan merancang pengajaran sesuai kemampuan peserta didik yang berbeda (differentiated teaching).
Mengantisipasi kemungkinan terburuk pandemi, menjadi krusial untuk reformasi BDR agar senyaman dan sepadan dengan PTM.
Berdasarkan survei tersebut dalam persepsi peserta didik, faktor-faktor utama yang akan membuat BDR lebih menyenangkan adalah adanya komponen PTM meski tidak rutin, diikuti dengan inovasi dalam materi ajar yang lebih menyenangkan, guru yang adaptif dan pendamping belajar yang ramah.
“Dengan kata lain, kombinasi PTM terbatas dan BDR yang menyenangkan adalah pilihan yang paling diinginkan peserta didik,” ujar Meli.
Dalam persepsi guru, faktor utama agar BDR setara kualitasnya dengan PTM adalah pelibatan orang tua/wali murid yang intensif dalam pelaksanaan BDR.
“Membangun komitmen orang tua/wali dalam menemani anak belajar, dengan dukungan komunitas, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah lokal, menjadi salah satu praktek terbaik yang bisa direplikasi,” ucap Meli.
Faktor krusial berikutnya adalah meningkatkan kemampuan guru menyiapkan bahan ajar yang menyenangkan dan tidak bergantung sepenuhnya pada kuota internet. PJJ tanpa kuota internet dan inovasi pembelajaran berbasis luring untuk mereka yang minim akses pembelajaran daring, menjadi krusial.
“BDR secara penuh (100 persen) adalah pilihan yang tidak bijaksana, namun PTM secara penuh juga berisiko tinggi, maka adopsi PTM terbatas adalah pilihan tepat ditengah ancaman varian omicron yang lebih ganas,” tutup Meli.
Leave a Comment