Tanah Gereja Diserobot, Pengacara Menuntut Hukum Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh

Tanah Gereja Diserobot, Pengacara Menuntut Hukum Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh
Tanah Gereja Diserobot, Pengacara Menuntut Hukum Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh

satunusantaranews, Minahasa - Proses pemeriksaan atas dugaan penyerobotan tanah yang terjadi sejak 16 Oktober 2021 di atas area lokasi tanah milik SCSE (Serikat Carmelitae Sancti Eliae) di Jalan Raya Tataaran, Kelurahan Tataaran I, Kecamatan Tondano Selatan, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara telah diproses Reserse Kriminal Umum POLRES Minahasa. Hal ini ditandai dengan adanya papan pemberitahuan yang berbunyi : "TANAH INI SEDANG DALAM PROSES PENYELIDIKAN/PENYIDIKAN SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES MINAHASA".

Peristiwa dugaan penyerobotan tanah tersebut terjadi dalam kurun waktu 16-19 Oktober 2021, yang diawali dengan perbuatan memasuki lahan tersebut tanpa seizin dari pemilik tanah, SCSE. Saat itu ada sekitar 6 orang yang bekerja atas instruksi dari para terlapor MA & YS, perbuatan tersebut dilakukan dengan memasuki kemudian membersihkan semak dan rumput di atas tanah tersebut bahkan sempat melakukan penebangan atas beberapa pohon-pohon cempaka sebanyak 9 pohon yang sudah berusia sekitar 9 tahun. Kemudian pohon-pohon cempaka tersebut digunakan untuk membangun 3 pondok (sabua) di atas bidang tanah milik SCSE tersebut.

Kuasa Hukum SCSE, Neil Sadek, SH yang telah tiba mengunjungi area lokasi peristiwa dugaan penyerobotan pada 8 Desember 2021, kembali menyampaikan kepada media satunusantaranews.co.id bahwa "peristiwa ini tidak boleh hanya berhenti pada proses pemeriksaan hanya menggunakan Pasal 167 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 9 bulan penjara. Tetapi harus dieskalasi ke beberapa pasal lainnya dalam KUHP sebab ada beberapa fakta hukum yang menunjukkan adanya dugaan pengrusakan yang ancaman pidananya maksimal 2 tahun 8 bulan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP Jo Pasal 412 KUHP Jo Pasal 55 KUHP. Dan tentunya terkait pula tindakan pidana pengerusakan secara bersama-sama dengan ancaman penjara maksimal 5 th 6 bulan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP.

Kemudian dikatakan pasal-pasal berlapis tersebut dapat dilaporkan secara terpisah sebab berdasarkan fakta hukum di lapangan pohon-pohon yang ditebang tanpa seizin dari SCSE yang telah membeli dengan berdasarkan beberapa akte jual beli itu. Dimana dalam akte jual beli telah beralih kepemilikan atas bidang tanah tersebut meliputi "SEGALA TANAMAN YANG TUMBUH DI ATAS TANAH LADANG TERSEBUT" kepada SCSE, pemilik saat ini.

Kemudian Neil Sadek, SH menegaskan bahwa, upaya hukum berupa laporan pidana ke POLRES Minahasa sudah tepat dan kami mengapresiasi dan mendukung proses penegakan hukum ini agar dapat berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun kami selaku kuasa hukum sedang mempertimbangkan untuk menindaklanjuti laporan pidana untuk beberapa pasal lainnya yang belum dilaporkan dengan suatu maksud dan tujuan untuk memperjuangkan rasa keadilan bagi korban dalam hal ini klien kami, SCSE".

Terlebih agar peristiwa ini tidak terulang di kemudian hari, lanjut Neil, kemudian dikatakannya Negara RI in casu POLRI adalah lembaga peradilan yang berada dalam garis terdepan yang bertugas melindungi warga negaranya termasuk SCSE yang berbadan hukum Indonesia agar SCSE dapat memperoleh rasa keadilan dalam kasus ini.

Harus ada efek jera dari para terlapor agar tidak mengulangi lagi perbuatan ini, dan akhirnya dikatakan oleh Neil Sadek, SH hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh, "viat justitia roeat coelum".

Penulis: Bambang Tjoek
Editor: Nawasanga

Baca Juga