Nasional

Tata Kelola Royalti yang Semrawut di Indonesia

satunusantaranews, Jakarta – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 56 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik. Dan menimbang pada PP tersebut akan memperkuat isi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta. Tetapi pada kenyataan di lapangan, ternyata bertolak belakang dengan peraturan yang telah diresmikan.

Hal tersebut terungkap pada zoom meeting yang diselenggarakan oleh Komunitas Pewarta Hiburan Indonesia (Kophi), pada Kamis (2/12/2021) malam. Hal tersebut mengungkap bahwa tata kelola royalti, belum menunjukkan titik terang. Bahkan terlalu sulit untuk membongkar dari inti permasalahannya. Bukan karena permasalahan tersebut sudah lama, melainkan keterlibatan musisi sebagai bagian aktif dari persoalan ini sangat rendah, bahkan terbilang sangat apatis.

Denny MR selaku pemandu acara zoom meeting tersebut, masalah yang dihadapi sangat berlapis-lapis. Sampai menyentuh fase dimana sulit untuk mengurai masalah tersebut. Seperti permasalahan yang di hadapi oleh PT LAS selaku pihak ketiga yang ditunjuk LMKN tanpa adanya proses tender dan adanya tudingan salah satu komisioner LKMN ternyata juga memiliki saham di PT LAS. Permasalahan tersebut seperti tidak akan selesai, atau bahkan sengaja untuk tidak diselesaikan. Bahkan setelah masalah tersebut sampai ke publik dan mengetahui kebobrokan dan akal-akalan mereka, permasalahan baru kian muncul.

Posan Tobing selaku musisi menggugat label Warner ke pengadilan, lalu setelah itu giliran Musica Studios yang turut mengajukan gugatan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tuntutan agar royalti produser dinaikkan dari 50 tahun menjadi 70 tahun.

Musica Studio menginginkan penghilangan pasal 18 dan 30, untuk diganti menjadi Kesepakatan Industri. Turunannya hak kepemilikan master lagu, yang tadinya hanya selama 25 tahun akan kembali menjadi milik musisi, akan bertambah menjadi 70 tahun, setelah itu baru kembali ke penciptanya.

Cholil Mahmud, vokalis dan gitaris band Efek Rumah Kaca dan Pandai Besi, mengenai persoalan royalti harus direspon musisi dengan mengubah cara berpikirnya. Cholil Mahmud mengatakan pendapatnya mewakili dirinya sendiri, bukan musisi secara umum.

“Musisi mesti mempunyai perubahan sikap, sehingga dikotomi musisi mainstream dan sidestream hilang, tidak ada lagi. Karena kita sekarang hidup di era borderless,” ucap anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dan menambahkan bahwa meski sepemahamannya, musisi sidestream biasanya yang memiliki sendiri master lagunya, dan memiliki sistem hubungan yang berbeda dengan pihak label, jika misalnya dibandingkan dengan musisi mainstream.

“Mau tidak mau musisi sidestream menjadi bagian dari industri, atau satu kolam dengan musisi mainstream. Karenanya, semua musisi harus mempunyai kesadaran hak-hak yang melekat pada dirinya. Dari hak cipta dan hak terkait yang muncul dari karyanya, termasuk hak mekanikal, “lanjutnya.

Meski dia juga mengakui bahwa banyak musisi yang tidak tahu, ihwal hak cipta dan hak terkait. Atau banyak diantaranya sangat tidak concern tentang persoalan ini.

“Makanya persoalan ini harus dibicarakan terus menerus, agar berdampak pada musisi itu sendiri,” pungkasnya.

Cholil Mahmud mengakui sangat membutuhkan bantuan media, untuk terus menyuarakan persoalan tersebut. Karena pada saat bersamaan tidak banyak media yang membicarakan, dan menulis persoalan ini dengan baik, karena persoalan royalti memang sangat rumit.

“Kalau media menulis dengan baik (persoalan royalti), akan sangat membantu sekali musisi,” katanya. Sehingga kerumitan seperti conflick of interest antara LMKN dan PT LAS, karena komisioner LMKN menjadi pemilik saham PT LAS, dapat dicegah dengan menggunakan suara publik yang disuarakan oleh media dan juga persoalan perseteruan royalti lainnya.

Candra Darusman turut mengatakan, meski masih mengaku prematur pendapatnya ihwal persoalan gugatan Musica ke MK, karena dia belum menyelesaikan membaca dan mendalami 58 halaman gugatan Musica Studio ke MK via Otto Hasibuan & Associates, tapi dasarnya ada upaya penghilangan pasal 18 tentang pencipta, dan pasal 30 tentang pelaku atau penyanyi.

“Menghilangkan pasal 18 dan 30 diganti kesepakatan industri. Maknanya, master lagu bisa dihidupkan lagi kalau ada kesepakatan industri antar para pihak. Kalau kesepakatan tidak tercapai, ya ngga jadi apa-apa,” katanya.

Meski Candra Darusman juga akhirnya menemu simpulan, gugatan Musica ke MK juga bisa dimaknai sebagai upaya menggairahkan kembali industri musik, agar master master lama bisa dimanfaatkan lagi.

“Saat kali pertama membaca berita gugatan itu, darah saya mendidih. Setelah saya baca, ternyata ada unsur menggairahkan,” katanya sembari mempertegas bahwa persoalan gugatan ini jangan sampai membuat kita semua, juga publik, melupakan permasalah LMKN dan pihak terkait menjadi terbengkalai.

Hati-hati.

Candra Darusman bersama dengan Federasi Serikat Musik Indonesia (Fesmi) sedang menyiasati persoalan gugatan ini dengan sangat hati-hati. Terutama saat mendalami dugaan upaya penghilangan pasal 18 dan 30, serta menyusun dokumen, karena melibatkan concerned party. Atau pihak terkait yang menjadi subjek dugaan atau laporan Pelanggaran berdasarkan Kebijakan tertentu.

Perihal mengenai gugatan kepemilikan master 50 tahun menjadi 70 tahun, atau 25 tahun menjadi 70 tahun, juga disikapi dengan keprihatinan mendalam oleh Yovie Widianto. Yovie Widianto dari lubuk hati terdalam juga menginginkan pembagian royalti yang adil dari para pihak, atau pencipta dan label.

“Sebagai komposer, kita berbisnis dengan baik-baik dengan semua label rekaman. Meski banyak temen saya yang mengatakan, harusnya saya ‘dapat’ lebih. Karena itu, (persoalan gugatan ini) mendapatkan perhatian saya, sebagai komposer, saya hanya mengatakan, yuk kembali ke hari nurani,” kata Yovie meski di saat bersamaan dia menyadari dunia bisnis, pasti berpikir untung dan rugi. Maka dari itu, Yovie mengharapkan agar lekas tercapai kesepakatan dan menemukan win win solution.

“25 tahun itu, sudah lama. Tapi ini kok 70 tahun hak master baru kembali. Katakanlah kita mulai terjun di industri ini umur 25 tahun, kalau 70 tahun, kan udah ngga ada (meninggal dunia),” katanya dengan sedih.

Yovie Widianto mengaku bahwa dirinya bukan sebagai pribadi yang mudah terprovokasi dan sangat meyakini bahwa rejeki tidak ada yang tertukar. Karenanya, ketika banyak kawan-kawannya mengatakan seharusnya dia mendapatkan lebih atas royalti lagunya, lalu dia menyikapi dengan biasa saja.

“Tapi saya tetap berharap seperti teman-teman saya di Korea, Jepang dan lainnya, agar hak saya terpenuhi dengan semestinya,” katanya sembari berharap adanya sebuah klausul jika ingin menghidupkan kembali master di masa lalu, lebih baik ada pembicaraan ulang dengan penciptanya tanpa memandang siapapun itu. Sembari menyorongkan azas transparansi, dan akuntabilitas.

“Saya tetap berharap tetap ada yang baik ke depan di industri musik. Dengan tranparansi tetap bisa cuan, kok, “pungkasnya.

 

 

Diana Silfiani, seorang Legal Colsultant yang menangani sejumlah musisi di Indonesia mengakui bahwa awarenes musisi terhadap royalti memang sangat minim dan seperti kurang mengoptimalisasi revenue. Turunannya, revenue-nya tidak maksimal. Seperti pemahaman tentang pola kerja LMKN untuk tampil berdasarkan square (ukuran) tempat tampil, juga belum diketahui semua musisi. Sebagai penasehat hukum, Silfiani mengakui bahwa dirinya miris atas gugatan Musica ke MK.

“Miris. Musisi dan pencipta lagu akan di bawa ke mana? Diam saja, atau bagaimana? Makanya saya sering heran mengetahui banyak musisi hendak melakukan perikatan apapun, tapi tidak didampingi legal consultants, Karena membaca dan memahami perjanjian itu tidak semudah itu, teknis sekali,”ucapnya.

Silfiani sangat berterima kasih dengan sejumlah pewarta yang turut membicarakan persoalan royalti tersebut. Ia berharap, musisi lekas berhimpun dan bergerak sebelum terlambat.

Lamban.

Fenomena atas lambannya musisi merespon persoalan royalti tersebut, juga banyak dirasakan sejumlah pewarta musik. Sama seperti Denny MR, Irish Blackmore juga sudah lelah mengingatkan musisi untuk bergerak, merumuskan pemikiran, dan memperjuangkan hak-haknya.

“Kalau kita pakai teori terbalik, dalam persoalan ini. Kenapa wartawan yang malah bergerak. Buktinya lahir pertemuan ini, (juga sejumlah pertemuan lainnya yang digagas Lesehan Musik / Lesmus). Musisinya malah adem ayem. Kita belum menemukan gregetnya teman-teman musisi. Yang peduli cuman nama itu-itu saja. Pertemuan ini terjadi kan.hanya bagian dari tanggung jawab moral kami. Inilah yang kami sayangkan. Harusnya, kawan-kawan musisi bergerak memperjuangkan nasibnya sendiri,” Ucap Irish Blackmore, Ketua PWI Jaya Seksi Musik dan Film.

Irish Blackmore juga mengatakan bahwa sejatinya pewarta hanya ingin mempersiapkan dan memberikan panggung kepada para musisi. Sebelum akhirnya terus mendukungnya dari segala sisi.

“Tapi apa yang terjadi, yang mau diberikan panggung, ngga nongol-nongol, bahkan seolah-olah masalah ini dibiarkan seperti benang kusut,”ungkapnya.

Kalau musisi terus berdiam diri dan tidak menanggapi persoalan tersebut, Irish Blackmore meyakini bahwa masalah tersebut tidak akan pernah berakhir sehingga tujuan dari persoalan tersebut tidak akan pernah terwujud, yaitu memartabatkan musisi pada tempat semestinya. Perkataan dari Irish disetujui oleh Denny MR. Karena peran wartawan hanya sebatas sebagai pendorong.

“Mungkin awarenes musisi sangat kecil..makanya kita cari solusi agar kawan-kawan (lekas) keluar kandang,” kata Denny MR.

Keberadaan wartawan sebagai pendorong itu diakui Cholil Mahmud. Sebagai salah satu pilar demokrasi, peran wartawan memang cenderung tidak terlihat.

“Semoga kawan-kawan wartawan tidak lelah mencermati persoalan royalti ini. Sampai ketemu alasan kenapa musisinya tidak mau bergerak. Dan musisi mempunyai keberanian berkasus di pengadilan, atau jalur hukum,” ucap Cholil Mahmud.

Berkasus di pengadilan, di negara hukum seperti Indonesia, menurut Cholil Mahmud adalah keniscayaan, jadi tidak ada yang istimewa. Untuk itu tidak ada cara yang lain selain para musisi harus berani.

Candra Darusman tetap memperingatkan jika bergerak tetap harus, tetapi juga harus melewati perhitungan terukur dan sistematis.

“Saya rasa kita harus bergerak dengan sistematis dan terukur. Dengan mempersiapkan argumen dan pendalaman. Tidak bisa asal asbun (asal bunyi), “ucap Candra Darusman.

Walaupun dia juga mengetahui bahwa klausul yang digunakan Musica via ke MK adalah adanya 60 negara di dunia yang memberikan hak fiksasi kepada produser selama 70 tahun. Tetapi hal tersebut bukan berarti menjadi pembenar hal yang sama dapat diterapkan di Indonesia.

Pada zoom meeting yang difasilitasi Kang Iyu dan Arey Arifin tersebut, seharusnya jika ada persoalan abuse dengan sengaja menyalahgunakan, memanfaatkan, memperlakukan orang lain secara tidak pantas dan tidak wajar tanpa memikirkan perasaan dan diri orang tersebut, sebagaimana dikatakan Diana Silfiani, bisa dihadapi di muka hukum.

“Bagaimana membangun iklim kesadaran (hukum) kepada kawan-kawan musisi? Tergantung individu masing-masing. Kalau relevan dengan dirinya sendiri, (biasanya) dia akan bergerak membuat gerakan yang relevan juga,” ucap Silfiani.

 

Leave a Comment
Share
Published by
Kahfi SNN