Terlalu Overshare Di Social Media Bahaya Loh, Gak Percaya? Yuk Simak Bareng

Terlalu Overshare Di Social Media Bahaya Loh, Gak Percaya? Yuk Simak Bareng
Terlalu Overshare Di Social Media Bahaya Loh, Gak Percaya? Yuk Simak Bareng

satunusantaranews, Jakarta - Menceritakan apa yang terjadi pada hidup kita ke beberapa orang yang kita percaya mungkin sudah sering kita lakukan. Namun, apa yang terjadi jika melakukan ini di media social pribadi. Nah, SNNears budaya ini sering disebut dengan“Oversharing”.

Kira-kira apa sih budaya oversharing ini? Oversharing adalah keadaan saat seorang individu pengguna media sosial terlalu sering membagi konten melalui akunnya sehingga mencapai level berlebihan. Oversharing sering dikaitkan dengan kecanduan media sosial.

Media sosial tampak menjadi tempat yang seru untuk berbagi momen pribadi, baik kepada teman dekat maupun orang asing sekalipun yang bahkan tak pernah berjumpa. Bahkan, saking senangnya mengunggah kiriman, tanpa sadar ada saja informasi pribadi yang penting dan seharusnya tak perlu diketahui publik.

Misalnya saja menandai lokasi rumah, mengunggah foto anak atau keluarga, memberi ucapan selamat ulang tahun, menceritakan pekerjaan, mengumbar kemesraan atau masalah dengan pasangan atau keluarga, dan masih banyak lagi.

Terlalu banyak mengumbar informasi seperti itu biasa disebut sebagai oversharing. Sebetulnya, tidak ada definisi baku soal apa itu oversharing. Namun, umumnya, oversharing ditafsirkan sebagai perilaku terlalu banyak memberikan informasi detail yang tidak pantas tentang kehidupan pribadi diri sendiri ataupun orang lain.

Apakah bahaya dapat ditimbulkan dengan perilaku oversharing ini? Menurut perusahaan software yang fokus di bidang keamanan, Tessian, telah ditemukan bahwa 84 persen orang mengunggah kiriman ke media sosial setiap minggunya.

Sebanyak 42 persen di antaranya membagikan banyak sekali informasi tentang hobi, ketertarikan, hubungan, dan lokasinya secara publik setiap hari. Separuh dari pengunggah di media sosial bahkan membagikan nama dan foto anak-anaknya, dan 72 persen di antaranya memberikan ucapan selamat ulang tahun. Tidak hanya informasi dari update status atau unggahan.

Sebanyak 55 persen responden memampang informasi profilnya secara terbuka di Facebook dan hanya 33 persen dari responden yang menggembok akun Instagram (private). Tak sedikit pula orang yang mengunggah kehidupan pekerjaannya.

Di Amerika Serikat, 93 persen pekerja mengunggah status tentang pekerjaan mereka di media sosial. Sebanyak 36 persen di antaranya bercerita tentang pekerjaannya sendiri dan 26 persen memamerkan klien atau kehidupan rekan kerjanya.

Ya, mungkin kita-kita orang yang melihat informasi tersebt akan beranggapan bahwa “ah, itu mah sudah biasa”. Namun, di tangan hacker, informasi tersebut bisa "dijahit" untuk membuat gambaran tentang target dan kemudian menentukan metode serangan digital yang akan mereka lakukan.

"Kebanyakan orang terlalu banyak bicara soal apa yang mereka bagikan di media sosial. Anda bisa menemukan apa pun secara virtual," kata Harry Denley, Security and Anti-Phishing di MyCrypto.

Bahkan, menurut Denley, informasi bisa tetap diperoleh sekalipun si pemilik informasi tidak membagikannya secara publik. Caranya adalah dengan menelusuri dan mengidentifikasi target lewat orang sekitarnya, kemudian meniru identitas mereka untuk menipu target.

Metode yang dipakai biasanya berupa rekayasa sosial (social engineering) atau manipulasi psikologi. Praktik rekayasa sosial yang umum terjadi adalah hacker menduplikasi identitas orang terdekat target, lalu melakukan penipuan terhadap target dengan mengiba meminta bantuan berupa kiriman uang.

Bisa juga hacker melakukan phishing dengan mengirimkan e-mail ke target berisi tautan atau lampiran yang apabila dibuka, hacker bisa menyandera atau mengambil data sensitif pengguna. Minimnya kewaspadaan digital menjadi faktor utama bagaimana serangan rekayasa sosial bisa terjadi.

Menurut laporan Tessian, hanya 54 persen responden pekerja yang memperhatikan betul siapa pengirim e-mail dan kurang dari setengahnya, mau mengecek legitimasi tautan atau lampiran sebelum merespons, atau melakukan tindakan pada e-mail yang diterima.

Fakta itu cukup mengkhawatirkan karena Tessian menemukan bahwa 88 persen responden menerima e-mail mencurigakan sepanjang 2020 ... wowww ...

Penulis: Icha
Editor: Maztjoek

Baca Juga