Tidak Seperti di Indonesia, Banyak Negara Muslim yang Mantan Presidennya Tidak Leluasa Jalan-Jalan

Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menjelaskan pada masa lalu, peran santri dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia adalah dengan perang fisik. Dimulai dari Perang Padri, Perang Jawa, hingga perjuangan gerakan rakyat (civil society). Perjuangan itu pun berlanjut ke jalur diplomasi hingga kemerdekaan dan berhasil membuat kesepakatan tentang dasar-dasar negara.

Kesepakatan itulah yang kita rasakan hingga saat ini dalam bingkai Empat Pilar, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, santri memiliki tuntutan peran ganda. Tidak hanya tuntutan keagamaan, tetapi juga tuntutan kebangsaan.

“Tuntutan peran santri adalah mampu membawa amanat kebangsaan (amanah wathaniyyah) dan amanat keagamaan (amanah diniyyah). Tuntutan itu merupakan konsekuensi logis, karena santri meyakini bahwa NKRI harga mati, hubbul wathan minal-iman, dan menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah mitsaqan ghalidzan.,” kata Senator asal Yogyakarta tersebut dalam Sosialiasi Empat Pilar dengan tema Memaknai Kembali Peran Santri dalam Menyongsong Hari Lahir Pancasila di Aula G Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada Jumat (27/05) siang.

Lebih lanjut, pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut menjelaskan bahwa “NKRI harga mati” mengharuskan para santri untuk berkiprah membangun negara secara bersama-sama dengan segenap komponen bangsa. Sementara jargon “hubbul wathan minal-iman”, mengharuskan santri untuk senantiasa mengingat di mana mereka dilahirkan dan bagaimana seharusnya mereka kemudian berkewajiban membangun negeri dan daerahnya secara tulus.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, santri yang menerima dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari menjalankan syariat agama Islam. Menurutnya, Pancasila adalah kalimatun sawa’ bagi Bangsa Indonesia yang memberi koridor yang jelas bahwa demokrasi Indonesia bukan demokrasi ala Barat, tetapi demokrasi yang berketuhanan, berkemanusiaan, berkebangsaan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.

Sebaliknya, menurut Gus Hilmy menjelaskan, Pemerintah juga memfasilitasi berbagai kebutuhan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam.

“Hasilnya, meskipun Indonesia bukan negara Islam (darul Islam), kontribusi syariat Islam dalam sistem hukum positif Indonesia sangat luar biasa. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama, Wakaf, Pengelolaan Zakat, Perbankan Syariah, Penyelenggaraan Umroh dan Ibadah Haji, Jaminan Produk Halal, dan lain-lain. Belum lagi seperti UU Pornografi, Perlindungan Anak, Energi dan lain-lain, yang kesemuanya sedikit banyak ada peran akomodasi syariat Islam. Upaya yang demikian ini sepatutnya terus diupayakan oleh kaum santri dalam peran sertanya turut membangun manusia Indonesia seutuhnya di semua bidang garapan sesuai dengan kompetensinya masing-masing,” ujar Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut.

Hadir sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut Guru Besar UIN Sunan KalijagaYogyakarta Prof. Dr. H. M. Machasin, M.A. dan Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta Dr. H. Mukhtarom Ahmad.

Prof. Machasin menyatakan bahwa sebagai ideologi, sebagai bangsa yang kuat, bangsa kita selalu ada upaya yang merongrong. Sejarah kita sudah menunjukkan berbagai pemberontakan.Padahal kita sama-sama tahu bahwa dasar-dasar negara kita ini yang paling cocok dan paling baik untuk negara kita.

“Untuk hari ini, yang merongrong ideologi kita adalah orang-orang yang ingin mengembalikan 7 kata pada sila pertama dalam Piagam Jakarta.Padahal sila pertama itu sudah sangat baik dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan sistem demokrasi kita hari ini, negara kita yang paling aman jika dibandingkan dengan negara-negara dengan basis Islam yang kuat. Kita bisa lihat seperti apa kehidupan kenegaraan di Timur Tengah hingga hari ini,” ujar Ketua MUI D.I. Yogyakarta tersebut.

Fakta khilafah, menurut mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama tersebut, adalah pemimpinnya tidak ada periodesasi. Khalifah akan turun jika mati karena sakit atau diracun atau juga bisa diusir.

*“Jadi tidak ada raja atau khalifah yang bisa leluasa jalan-jalan atau melaksanakan aktivitas sehari-hari. Akan ada selalu ancaman yang siap datang kapan saja. Berbeda dengan yang berlaku di Indonesia, presiden ada periodenya. Jika kerjanya bagus maka bisa tidak dipilih lagi. Presiden bisa leluasa berkerja dan menyapa rakyatnya,” jelas profesor di bidang sejarah kebudayaan Islam tersebut.*

Sementara itu, Dr. Mukhtarom menyampaikan berbagai tantangan hari ini yang harus dihadapi santri. Apalagi di tengah arus informasi yang deras, santri harus memiliki pertahanan yang lebih kuat.

“Era sekarang, santri harus terus berjuang untuk keutuhan NKRI, di tengah arus informasi yang sangat deras dan membanjir, baik yang positif maupun negatif, baik yang elegan maupun yang hoaks. Santri harus berada digarda depan. Tentu semuanya itu harus memiliki pemahaman yang baik terhadap 4 Pilar Kebangsaan: Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, serta tekad yang tinggi untuk mengimplementasikannya, untuk keutuhan dan kejayaan Indonesia,” kata salah satu pengasuh Pesantren Al Munawwir tersebut.

*Tidak Seperti Indonesia, Banyak Negara Muslim yang Mantan Presidennya Tidak Leluasa Jalan-Jalan*

Menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyelenggarakan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan Memaknai Kembali Peran Santri dalam Menyongsong Hari Lahir Pancasila.

Di antara pembicara yang hadir adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. H. M. Machasin, M.A. dan Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta Dr. H. Mukhtarom Ahmad.

Prof. Machasin menyatakan bahwa sebagai ideologi, sebagai bangsa yang kuat, bangsa kita selalu ada upaya yang merongrong. Sejarah kita sudah menunjukkan berbagai pemberontakan. Padahal kita sama-sama tahu bahwa dasar-dasar negara kita ini yang paling cocok dan paling baik untuk negara kita.

“Untuk hari ini, yang merongrong ideologi kita adalah orang-orang yang ingin mengembalikan 7 kata pada sila pertama dalam Piagam Jakarta. Padahal sila pertama itu sudah sangat baik dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan sistem demokrasi kita hari ini, negara kita yang paling aman jika dibandingkan dengan negara-negara dengan basis Islam yang kuat. Kita bisa lihat seperti apa kehidupan kenegaraan di Timur Tengah hingga hari ini,” ujar pria yang juga Ketua Umum MUI D.I. Yogyakarta tersebut di Aula G Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada Jumat (27/05) siang.

Fakta khilafah, menurut mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama tersebut, adalah pemimpinnya tidak ada periodesasi. Khalifah akan turun jika mati karena sakit atau diracun atau juga bisa diusir.

“Jadi tidak ada raja atau khalifah yang bisa leluasa jalan-jalan atau melaksanakan aktivitas sehari-hari. Akan ada selalu ancaman yang siap datang kapan saja. Berbeda dengan yang berlaku di Indonesia, presiden ada periodenya. Jika kerjanya bagus maka bisa tidak dipilih lagi. Presiden bisa leluasa berkerja dan menyapa rakyatnya,” jelas profesor di bidang sejarah kebudayaan Islam tersebut.

Mengenai peran santri hari ini, Dr. Mukhtarom menyampaikan berbagai tantangan hari ini yang harus dihadapi santri. Apalagi di tengah arus informasi yang deras, santri harus memiliki pertahanan yang lebih kuat.

“Era sekarang, santri harus terus berjuang untuk keutuhan NKRI, di tengah arus informasi yang sangat deras dan membanjir, baik yang positif maupun negatif, baik yang elegan maupun yang hoaks. Santri harus berada digarda depan. Tentu semuanya itu harus memiliki pemahaman yang baik terhadap 4 Pilar Kebangsaan: Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, serta tekad yang tinggi untuk mengimplementasikannya, untuk keutuhan dan kejayaan Indonesia,” kata salah satu pengasuh Pesantren Al Munawwir tersebut.

Sementara itu, Senator Indonesia Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menjelaskan, pada masa lalu, peran santri dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia adalah dengan perang fisik. Dimulai dari Perang Padri, Perang Jawa, hingga perjuangan gerakan rakyat (civil society). Perjuangan itu pun berlanjut ke jalur diplomasi hingga kemerdekaan dan berhasil membuat kesepakatan tentang dasar-dasar negara.

Kesepakatan itulah yang kita rasakan hingga saat ini dalam bingkai Empat Pilar, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, santri memiliki tuntutan peran ganda. Tidak hanya tuntutan keagamaan, tetapi juga tuntutan kebangsaan.

“Tuntutan peran santri adalah mampu membawa amanat kebangsaan (amanah wathaniyyah) dan amanat keagamaan (amanah diniyyah). Tuntutan itu merupakan konsekuensi logis, karena santri meyakini bahwa NKRI harga mati, hubbul wathan minal-iman, dan menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah mitsaqan ghalidzan,” jelas pria yang juga anggota MUI Pusat tersebut.

Lebih lanjut, pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut menjelaskan bahwa “NKRI harga mati” mengharuskan para santri untuk berkiprah membangun negara secara bersama-sama dengan segenap komponen bangsa. Sementara jargon “hubbul wathan minal-iman”, mengharuskan santri untuk senantiasa mengingat dimana mereka dilahirkan dan bagaimana seharusnya mereka kemudian berkewajiban membangun negeri dan daerahnya secara tulus.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, santri yang menerima dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari menjalankan syariat agama Islam. Menurutnya, Pancasila adalah kalimatun sawa’ bagi Bangsa Indonesia yang memberi koridor yang jelas bahwa demokrasi Indonesia bukan demokrasi ala Barat, tetapi demokrasi yang berketuhanan, berkemanusiaan, berkebangsaan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.

Sebaliknya, menurut Gus Hilmy menjelaskan, Pemerintah juga memfasilitasi berbagai kebutuhan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam.

“Hasilnya, meskipun Indonesia bukan negara Islam (darul Islam), kontribusi syariat Islam dalam sistem hukum positif Indonesia sangat luar biasa. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama, Wakaf, Pengelolaan Zakat, Perbankan Syariah, Penyelenggaraan Umroh dan Ibadah Haji, Jaminan Produk Halal, dan lain-lain. Belum lagi seperti UU Pornografi, Perlindungan Anak, Energi dan lain-lain, yang kesemuanya sedikit banyak ada peran akomodasi syariat Islam. Upaya yang demikian ini sepatutnya terus diupayakan oleh kaum santri dalam peran sertanya turut membangun manusia Indonesia seutuhnya di semua bidang garapan sesuai dengan kompetensinya masing-masing,” ujar Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut.

Penulis:

Baca Juga