Tingkatkan Ekspor Sulawesi Utara, Bidik Serat Abaka
satunusantaranews, Manado - Memasuki tahun ke 2 Gerakan Tiga Kali Lipat Ekspor Komoditas Pertanian (Gratieks), Kementerian Pertanian memiliki target adanya peningkatan nilai ekspor 20 persen. Berbagai upaya dilakukan seluruh unit kerja Kementerian Pertanian. Dan termasuk Karantina Pertanian Manado terus berupaya mengeksplorasi wilayah Sulawesi Utara untuk mengupayakan adanya penambahan volume ekspor maupun jenis komoditas ekspor baru. Salah satu target eksplorasi Karantina Pertanian Manado adalah serat abaka di Desa Tarun, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Berdasarkan data IQFAST Karantina Pertanian Manado, tahun 2019 serat abaka sudah pernah diekspor ke Inggris dan ditahun 2020 juga masuk pasar Jepang. Dan pekan lalu kami lakukan kunjungan lapangan ke kebun pisang abaka untuk melihat langsung budidaya pisang abaka dan menggali informasi kendala-kendala yang dihadapi petani pisang abaka, ujar Donni Muksydayan, Kepala Karantina Pertanian Manado (29/4).
Abaka merupakan tanaman endemik yang tumbuh liar di Talaud namun sekarang sudah mulai dibudidayakan. Tanaman dengan nama latin Musa Textilis termasuk dalam famili Musaceae atau jenis pisang-pisangan. Bentuknya menyerupai pohon pisang, namun buahnya sangat kecil serta memiliki serat yang sangat kuat dibagian pelepahnya.
Kekuatan serat abaka inilah dapat menjadi nilai tambah karena setelah diolah dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan tali tambang kapal, karpet, maupun barang-barang souvenir seperti tas, sandal atau topi. Konon, serat dari batang pisang ini juga digunakan sebagai bahan baku kertas uang dengan kualitas terbaik, sehingga dipakai untuk mencetak Dolar Amerika dan Euro. Serat abaka merupakan salah satu produk unggulan dari Talaud selain kelapa, kopra, cengkih, dan pala, tambahnya.
Namun pemanfaatan pohon pisang Abaka sebagai produk unggulan belum optimal. Menurut Alwin Atini, petani pisang Abaka, bahwa harga serat Abaka yang masih rendah menjadi kendala utama saat ini. Dimana harga serat Abaka yang sudah diproses hingga kering dihargai Rp. 15.000/ kg. Nilai tersebut tidak sebanding dengan beban operasional dalam mengolah serat Abaka. Kondisi tersebut diyakini menyebabkan masyarakat Talaud belum begitu tertarik membuka kebun pisang Abaka.
Menurut Alwin harga yang tidak sesuai dan tidak kompetitif menyebabkan petani lebih memilih berusaha ke komoditas lain seperti Kopra sehingga terkadang Pisang Abaka tidak terawat dan tidak dipanen. Padahal jika tidak dipanen, batangnya tidak dapat membesar sehingga tidak menghasilkan serat yang lebih banyak, jelas Alwin.
Permasalahan kedua adalah lahan pisang Abaka yang minim, mengakibatkan ketersediaan bahan baku batang pisang Abaka tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar. Kendala lainnya adalah masyarakat yang memiliki mesin pengolahan serat Abaka masih sedikit.
“Sehingga perlu adanya pelatihan keterampilan dalam mengolah serat abaka ini, sehingga masyarakat mendapatkan nilai tambah dari pengolahan serat abaka”, ungkap Alwin.
Donni berharap melalui kunjungan lapangan ini mampu menggali potensi-potensi ekspor yang berasal dari komoditas pertanian seperti di wilayah Kepulauan Talaud ini. Kami akan sering lakukan kunjungan lapangan ke sentra-sentra petani dan melakukan koordinasi dengan pelaku usaha maupun pemda setempat, paparnya.
Sesuai dengan arahan Kepala Badan Karantina Pertanian agar dalam menggenjot ekspor seluruh UPT Karantina Pertanian di penjuru tanah air harus melakukan sinergitas dengan seluruh instansi pertanian dan pihak terkait di seluruh Indonesia.
Komentar