satunusantaranews, Ambon – Wakil Ketua Komite II DPD RI Abdullah Puteh mengatakan Indonesia terletak di wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera maka sangat rawan bencana. Untuk itu Pemerintah Daerah seharusnya mempersiapkan dana siap pakai atau dana tanggap bencana.
“Pemerintah Daerah seharusnya mempersiapkan dana siap pakai atau dana tanggap bencana. Dana tersebut dialokasikan berapa persen dari APBD untuk dana siap pakai ini. Dikelola oleh BPBD, karena bencana tidak bisa diprediksi, bisa kapan saja datang secara tiba-tiba, pemerintah daerah harus siap. Standar penetapan bencana daerah atau bencana nasional masih belum jelas,,” ucap Puteh saat Kunjungan Kerja di Ambon, Provinsi Maluku, Rabu (2/12).
Pada kesempatan ini, hadir Anggota DPD RI asal Maluku Anna Latuconsina, Anggota DPD RI asal Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi, Anggota DPD RI asal DI Yogyakarta M. Afnan Hadi Hadikusumo, Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah Lukky Semen, dan Anggota DPD RI asal Maluku Utara Namto Hui Roba.
Puteh menjelaskan pada akhir-akhir ini frekuensi terjadinya bencana di wilayah Indonesia secara kualitatif dan kuantitatif jenisnya cenderung meningkat, baik bencana yang disebabkan karena faktor alam, non-alam, maupun sosial. Untuk bencana yang disebabkan oleh faktor alam meliputi di antaranya gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan erupsi gunung berapi. Sementara bencana faktor non-alam yaitu wabah penyakit COVID-19, gagal teknologi, dan kebakaran hutan. “Sedangkan untuk bencana yang disebabkan oleh faktor sosial meliputi konflik sosial antar-kelompok, konflik sosial antar-masyarakat, dan tindakan terorisme,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa Indonesia dalam upaya Penanggulangan Bencana, selama ini didasarkan pada ketentuan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun dalam perkembangannya, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana terdapat beberapa ketentuan yang sudah tidak sesuai dan belum terakomodir di dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
“Bencana, sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007 merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Di samping itu, penanggulangan bencana dari tahap pra-bencana, saat terjadi bencana/ tanggap darurat, dan pasca-bencana membutuhkan kerja sama lintas kementerian/lembaga, tidak mungkin hanya ditangani oleh BNPB sendiri,” kata Puteh.
Komite II DPD RI, lanjutnya, berkomitmen revisi dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dapat berisikan sistem atau pengaturan penanggulangan bencana yang lebih terencana dan terpadu. “Kami berharap revisi dari UU ini dapat berisikan sistem dan pengaturan penanggulangan bencana yang lebih terencana dan terpadu,” ujar Puteh.
Sementara itu, Asisten III Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Maluku Ismail Usemahu mengatakan Provinsi Maluku sangat rentan terhadap bencana alam dengan skala yang cukup tinggi. Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera.
“Karakteristik dari Provinsi Maluku adalah 92,6 persen laut, dan 7,4 persen daratan maka sangat rentan terhadap bencana dengan skala yang cukup tinggi. Bahkan dari bencana terakhir yang terjadi pada 26 September 2019 masih dalam upaya perbaikan yang masih belum terselesaikan,” ucap Ismail.
Menurutnya penetapan status bencana sangat lambat atau 3 X 24 jam. Padahal status bencana ini sangat mempengaruhi bagamana bantuan dan anggaran bisa sampai kepada yang membutuhkan. Tidak hanya itu, kewenangan masing-masing instansi baik pusat dan daerah masih terasa kaku terhadap penanggulangan bencana. “Jadi terkesan sangat lambat dan sulit untuk mendapatkan bantuan, padahal sangat dibutuhkan dan harus cepat dalam pelaksanaannya,” tutur Ismail.
Leave a Comment